Mataku
nanar menatap etalase toko di hadapanku. Sejenak aku celingukan, memastikan tidak ada
orang yang berjalan menuju toko ini.
Aku
mengendap-endap, mengawasi pemilik toko, ibu gendut yang sedari tadi terkantuk-kantuk
di pojok ruangan. Perlahan kudekati barang yang sedari tadi kuincar, tak
dapat menahan diri untuk segera mengambil dan membawanya pergi.
“Maling!
Maling!” Naas bagiku, seorang gadis tiba-tiba masuk ke dalam toko dan memergoki
perbuatanku, membuat sang pemilik toko terbangun. Sialnya, orang-orang di
sekitar toko yang ikut mendengar teriakan tersebut sontak berdatangan. Beramai-ramai
pula mereka menghujaniku dengan bogem mentah.
Di
sela-sela keroyokan yang kuterima dari massa, mataku masih memandang nanar pada
kue tart yang batal kucuri, kini berceceran di lantai, terinjak-injak. Hatiku
masygul. Musnah sudah harapanku untuk memberi kejutan pada adikku tercinta di
rumah. Ingatanku melayang pada cerita adikku yang polos itu, beberapa hari lalu
selepasku menyemir sepatu di pasar.
“Bang,
tadi saat mengaji teman-teman Ani banyak yang cerita kalau setiap setahun
sekali mereka selalu dapat banyak hadiah dari orang tua dan keluarga mereka.
Mereka juga makan kue coklat yang besar dan lezat. Ani ingin sekali bisa
seperti mereka, Bang. Dapat hadiah dan makan kue bersama Abang dan Ayah Ibu..
Tapi sepertinya tidak mungkin ya, Bang.. Ayah dan Ibu kan sudah tidak ada..”
Aku
menangis. Bukan karena pukulan bertubi-tubi yang dilakukan orang-orang padaku,
melainkan karena ingat adik kecilku yang malang. Ah Adikku sayang, mengapa begitu susah bagiku untuk bisa
membahagiakanmu walau hanya setahun sekali saja?