Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis
Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get
discovered!
Untuk anakku Kirana
Selamat ulang tahun
anakku. Semoga engkau selalu diberkati kesehatan dan umur panjang oleh Tuhan
Yang Maha Kuasa. Semoga di usia yang ketujuh belas ini urusanmu dilancarkan dan
segala keinginanmu juga dikabulkan oleh-Nya.
Anakku, mungkin
ulang tahunmu kali ini akan menjadi ulang tahun yang teristimewa dalam hidupmu.
Ya, ini adalah pertama kalinya kau merayakan ulang tahunmu di restoran mewah
sekelas De Opera Beach Club bukan? Hal yang sebelumnya tak pernah Ayah bayangkan
dapat terjadi, namun telah menjadi impianmu sejak lama. Ayah dapat membayangkan
raut wajah bahagiamu, Nak. Kirana anakku, mungkin Ayah bukan lah ayah yang
cukup baik di matamu. Maafkan Ayah yang tak pernah mampu membahagiakanmu, Nak.
Ayahmu ini hanya seorang nelayan kecil. Pendapatan Ayah sebulan pun tak akan
cukup untuk memenuhi segala keinginanmu, Anakku. Namun Ayah selalu ingin
membuatmu bahagia, Nak. Bagi Ayah,hidup ini tak ada gunanya bila Ayah tak mampu
menyenangkan hati putri Ayah satu – satunya.
De Opera Beach Club
Ayah tahu engkau
malu dengan pekerjaan ayahmu ini, Nak. Karena itu kan kau tak pernah mau
mengajak teman – teman sekolahmu ke rumah kecil kita? Ah,anakku, tidakkah kau
tahu bagaimana sedihnya hati Ayah ketika kau melarang Ayah ke sekolahmu
lantaran kau malu punya ayah seperti Ayah? Perasaan Ayah hancur, Kirana.
Anakku, engkau adalah harta satu – satunya yang Ayah miliki saat ini. Sejak
Ibumu meninggal sepuluh tahun yang lalu, Ayah telah bertekad untuk membesarkanmu
sendiri, membahagiakanmu. Meskipun pendapatan Ayah kecil, Ayah ingin kelak kau
jadi anak yang sukses. Maka Ayah selalu berusaha menyekolahkanmu di sekolah
unggulan dengan harapan kau bisa menjadi anak yang berprestasi. Ayah tak pernah
mempersoalkan besarnya biaya yang harus Ayah tanggung untuk pendidikanmu. Yang
Ayah ingin hanya agar hidupmu tak semenderita Ayahmu sekarang, Nak.
Kau ingat Kirana, kau
adalah murid yang rajin dan cerdas. Guru – guru selalu memujimu yang acap kali
menjadi juara kelas. Atas prestasimu, selepas SD kau mendapat beasiswa untuk
melanjutkan pendidikan di sebuah yayasan sekolah elite. Betapa bangganya Ayah
saat itu. Bagaimana tidak, anak Ayah mampu sekolah di tempat yang dijadikan
jujukan anak orang – orang kaya. Ayah masih ingat betapa semangatnya dirimu setiap
berangkat ke sekolah. Tak kau hiraukan teman – teman yang mencemooh keadaanmu.
Kau bilang kau hanya ingin belajar dan jadi orang sukses.
Ayah bisa melihat
bahwa kau berusaha menjalani semua itu dengan tabah, Kirana. Hingga suatu hari,
saat dirimu menginjak kelas tiga SMP, kau pulang dengan air mata bercucuran. Tak
tahan melihatmu bersedih, Ayah menanyakan penyebab kesedihanmu. Betapa kagetnya
Ayah saat kau menyalahkan Ayah. Kau bilang bahwa ada seorang anak lelaki di
kelas yang kau sukai, namun kau tak pernah berani untuk berbicara dengannya.
Melihat matanya pun kau tak berani. Kau hanya dapat mencurahkan perasaanmu
dalam buku catatanmu. Hingga pagi itu seorang temanmu yang jahil merebut bukumu
secara paksa. Kontan saja kau kaget, karena di buku itu terdapat seluruh
catatan rahasia mengenai anak lelaki yang kaupuja itu. Belum sempat kau merebut
buku itu kembali, temanmu itu sudah menemukan catatan rahasiamu. Tanpa
memikirkan perasaanmu ia pun membacakan isi catatan itu dengan lantang di depan
kelas. Saat itu lah anak lelaki yang kau taksir mendengar semuanya. Tanpa
basa-basi ia merebut buku itu dari tangan temanmu lalu menghampiri mejamu.
Sekonyong – konyong dirobeknya kertas curahan hatimu dari buku itu dan
diremas-remasnya di hadapanmu. Ia bilang bahwa ia tidak menyukaimu dan kau
takkan bisa dekat dengannya karena kau hanyalah anak nelayan miskin.
Aku bisa memahami
rasa sakit hatimu, Kirana. Namun sejak kejadian itu kelakuanmu terhadap Ayah
berubah seratus delapan puluh derajat. Kau selalu mengungkit kejadian itu dan
melarang Ayah untuk datang ke sekolahmu. Ayah kira hal itu hanya akan terjadi
sementara. Mungkin kau sedang stres karena akan menghadapi ujian kelulusan.
Namun ketika kau masuk SMA, perangaimu
tetap tak berubah. Kau bahkan menjalin pertemanan dengan anak – anak yang
memiliki gaya hidup tinggi. Kau mulai senang bersolek dan membeli baju – baju
bagus. Semua itu kau lakukan demi bisa bergaul dengan jajaran siswa – siswa
yang terkenal. Lagi – lagi kau tak mengizinkan Ayah untuk datang ke sekolahmu,
sekedar untuk mengantar makanan atau menjemputmu. Kau bilang kau malu jika
sampai ada yang tahu bahwa kau hanya anak dari nelayan miskin. Jangan kau tanya
bagaimana perasaan Ayah, Kirana. Sedih, tentu saja. Namun semua Ayah terima
dengan lapang dada, asalkan kau bisa bahagia dengan teman – temanmu, Nak.
***
“Ayah!
Ayaaaah!” teriakan Kirana terdengar melengking seiring derap sepatunya memasuki
rumah. Aku yang sedang sibuk memperbaiki jala menghentikan aktivitasku sejenak.
Ya, sudah beberapa hari jalaku rusak. Memang lubangnya tidak besar, namun cukup
mempengaruhi hasil penangkapan ikan. Sebenarnya teman – teman sudah
menyarankanku untuk membeli jala baru, “Bukankah harga jala baru lebih murah
jika dibandingkan dengan biaya engkau memperbaiki jala selama ini? Sudah berapa
kali jala itu rusak dan harus diperbaiki sana – sini?” tukas salah seorang
temanku, yang hanya kujawab dengan senyuman. Ya, mungkin ada baiknya aku
mengikuti saran teman – temanku itu, namun aku kembali mengingat bahwa ada yang
lebih membutuhkan uang itu. Anak seumurannya tentu perlu uang untuk membeli
baju dan segala macam perlengkapan untuk merias diri. Tak jarang Kirana kesal
karena uang yang didapat tak cukup untuk memenuhi keinginannya. Kadang aku
hanya bisa mengurut dada melihat Kirana seperti itu, tapi biarlah. Asal dia
bahagia, asal dia masih mau belajar dan memiliki teman, aku pun turut bahagia.
“Ayah!
Daritadi Kirana panggil kenapa tidak menjawab? Tidak dengar ya?”sentakan Kirana
membuyarkan lamunanku. Aku menoleh pada putri semata wayangku itu dan
tersenyum,”Kamu sudah pulang, Nak? Mau makan dulu? Itu ada ikan goreng tadi
pagi, Ayah sengaja sisakan untukmu.”
“Tidak
usah, Kirana sudah makan di restoran tadi bersama teman – teman! Lagipula mau
jadi apa nantinya kalau Kirana terus menerus makan ikan setiap hari?”
dengusnya, yang membuat hatiku teriris. Oh anakku, maafkan ayahmu yang tak
dapat membahagiakanmu ya Nak..
“Yah,
apa Ayah lupa kalau seminggu lagi adalah hari penting untuk Kirana?” tanya
Kirana seraya melempar tas sekolahnya ke kursi. Aku tersenyum lembut,”Tentu
Ayah ingat, Kirana. Seminggu lagi kamu akan berulang tahun yang ketujuh belas
bukan?” Ah, betapa cepatnya waktu berlalu, dan aku belum mampu memberikan yang
terbaik untuk anakku tercinta.
“Lalu
apa tidak ada sesuatu yang spesial yang bisa Ayah berikan untuk Kirana?”
“Oh,
kamu mau minta hadiah, Nak? Kamu mau minta apa? Jika Ayah mampu, Ayah akan
berusaha memenuhinya.” Ujarku tersenyum, mengingat ini adalah kesempatanku
untuk membuat anakku senang.
“Mmm..
kalau Kirana mau mentraktir teman – teman Kirana di malam ulang tahun itu
bagaimana, Yah?” aku memikirkan permintaan Kirana sejenak. Ya, mungkin aku bisa
mengabulkan permintaan anakku yang satu ini. Uangku memang tidak banyak, namun tak
ada salahnya sesekali membiarkan Kirana mengajak teman – temannya makan
bersama, jika memang itu dapat membuatnya senang.
“Ya,
Ayah rasa kamu bisa melakukannya. Nanti Ayah akan melaut untuk mencari ikan
sebanyak – banyaknya, lalu kamu bisa membakar ikan bersama teman – temanmu di
pantai. Pasti menyenangkan bukan makan ikan bakar bersama teman – teman sambil
melihat laut?”
Namun
itu bukan ide yang bagus bagi anakku,”Aduh, Yah. Kalau sekedar ikan bakar saja
teman – teman Kirana sudah sering makan di restoran. Kirana ingin sesuatu yang
beda, Yah. Yang belum banyak dilakukan oleh teman – teman Kirana..”kata – kata
Kirana membuatku mengurut dada.
“Hmm..
memangnya kamu mau mengajak teman – teman makan di mana, Nak?” tanyaku pelan.
Kutanya begitu, putriku itu mengembangkan senyumnya. Matany bersinar, tampaknya
hal itu telah ia impikan sejak lama, sehingga membayangkan saja dirinya tampak senang
sekali.
“Kirana
mau mengajak teman – teman makan malam di De Opera Beach Club di The Bay Bali,
Yah.” Katanya dengan mata berbinar. Aku tercekat. Ya Tuhan, apa aku tidak salah
dengar?
“De..
De Opera, Nak?”ulangku, seakan memastikan.
“Iya
Yah, De Opera. Masa Ayah tidak tahu, sih? Itu kan salah satu restoran yang ada
di The Bay Bali, yang ada di Nusa Dua itu lho Yah. Kirana baca di majalah kalau
The Bay Bali itu tempat yang keren sekali, Yah. Selain pantai, di situ juga
terdapat bermacam – macam restoran bintang lima seperti De Opera, Benihana,
Bumbu Nusantara, dan restoran – restoran lain yang tak kalah mengagumkannya,
Yah. Tapi yang paling menarik perhatian Kirana ya De Opera itu, Yah. Coba
bayangkan Yah, di sana Kirana bisa makan masakan Thailand yang lezat – lezat
sambil menonton acara seni yang biasa ditampilkan di sana. Kirana dan teman –
teman juga bisa menonton live music dari DJ yang sedang tampil. Kalau Kirana
bosan, Kirana dan teman – teman juga bisa berenang di kolam renang atau
menikmati pemandangan luar yang indah, karena dari restoran kita bisa melihat laut. Belum lagi angin di sana sangat sejuk. Kirana
ingin sekali bisa ke sana, Yah..” rajuk anakku. Aku menelan ludah. Dari
penjelasan panjang lebar Kirana, sudah pasti De Opera memiliki fasilitas yang
bagus dan lengkap. Tapi tentunya untuk bisa menikmati itu semua dibutuhkan
uang. Ya, Uang. Benda yang saat ini merupakan sesuatu yang sangat krusial
untukku. Ah, mengapa rasanya sangat susah ketika aku ingin membahagiakan anakku
sekali saja?
Salah satu menu hidangan di De Opera Thai Restaurant |
Suasana saat makan malam di De Opera |
Suasana di sekitar De Opera |
“Nak..
begini, Ayah tahu De Opera memang memiliki fasilitas yang menakjubkan dan
makanan yang lezat. Pasti akan sangat menyenangkan bila kamu bisa mentraktir
teman – temanmu di sana, tapi...” Aku berdeham sebentar,”untuk bisa makan di sana
tentunya butuh uang yang tidak sedikit, Nak. Apa tidak bisa jika ulang tahunmu
kita rayakan secara sederhana saja? Nanti Ayah buatkan ikan bakar kesukaan kamu
ya, Nak...”
“Ah!
Sudah Kirana duga, Ayah pasti tidak bisa memenuhi keinginan Kirana! Kirana ingin
sesekali hidup enak, Yah! Kirana ingin seperti teman – teman, makan di restoran
mewah, menonton acara musik. Kirana malu tinggak di gubuk reyot ini, Yah!
Kirana malu punya ayah seperti Ayah! Ayah tidak pernah bisa membahagiakan
Kirana, tapi Ayah selalu minta supaya Kirana belajar agar bisa masuk sekolah
yang bagus! Apa tidak ada hal yang bisa Ayah lakukan sedikit saja untuk
membahagiakan Kirana?”sergah Kirana, membuat hatiku menangis.
“Kirana,
maaf jika Ayah belum bisa
membahagiakanmu. Ayah memang salah karena tidak mampu memberi penghidupan yang
layak untukmu, tapi Ayah tidak ingin nantinya kamu bernasib seperti Ayah, Nak.
Ayah ingin kamu menjadi orang sukses. Sabar ya, Nak. Suatu saat kamu pasti bisa
hidup senang layaknya teman – temanmu..”
“Selalu
ituuu saja yang Ayah bicarakan. Kapan pastinya Kirana bisa mendapat apa yang
Kirana mau, Yah? Kirana bosan hidup miskin! Bosan setiap hari makan ikan terus!
Tapi sepertinya Ayah memang tidak pernah mau membuat Kirana senang!”tukas Kirana
seraya pergi keluar rumah. Dibantingnya pintu gubuk kami keras – keras,
membuatku tersentak. Perasaanku tak dapat kubendung lagi. Air mataku jatuh
berlelehan, meratapi sikap anakku yang begitu membenciku. Ah,mengapa aku tidak bisa membahagiakan anakku sendiri?
***
“Apa
Bapak yakin mau melakukan ini?”
“Yakin
Bu, saya yakin seyakin – yakinnya.”
“Bapak
tidak sayang jika harus menukarnya begitu saja dengan uang?”
“Tidak,
Bu Mardi. Tidak sama sekali.”
“Lalu
bagaimana dengan nasib Bapak selanjutnya? Apa Bapak tidak merasa rugi jika nantinya
Bapak tidak dapat bekerja lagi? Saya
yakin pasti hal ini sangat penting untuk pekerjaan Bapak, apa lagi Bapak adalah
seorang nelayan. Tentu Bapak akan sangat membutuhkan..”
“Bu,
saya rela melakukan apa saja demi membahagiakan anak saya. Dan untuk itu saya
ikhlas menyerahkan apapun yang saya miliki. Tekad saya sudah bulat, Bu, jadi
tolong jangan tanyakan kesiapan saya lagi. Berapa kali pun Ibu bertanya, saya
siap melakukan ini semua.”
“Baiklah
kalau memang itu menjadi keputusan Bapak. Terima kasih sebelumnya atas
kesediaan Bapak. Kami berjanji akan membalas budi baik Bapak sesuai dengan
kesepakatan sebelumnya.”
***
Terngiang ucapan
rekan – rekanku sesama nelayan mengenai keinginanku membahagiakan putriku. Mereka
bilang aku laki – laki lemah. Ya, mungkin aku memang lemah karena aku tak mampu
memegang janjiku pada almarhumah istriku untuk dapat membesarkan anakku dengan
baik. Aku juga tak dapat membuat hidup anakku senang, aku tak pernah bisa
membahagiakan anak yang sangat kusayangi.
Ketahuilah, Nak,
betapa ingin Ayah membuatmu bahagia. Betapa ingin Ayah menjadi alasan dibalik
senyum yang selama ini hanya kau tujukan pada teman – temanmu. Ayah tidak tahu apakah tindakan Ayah ini baik
atau tidak, tapi yang Ayah tahu, inilah jalan satu – satunya untuk memenuhi
keinginanmu.
Anakku, kau tentu
ingat Juragan Mardi, bukan? Ia adalah orang kaya yang baik hati, yang membuka
lapangan usaha hingga anak – anak muda di sekitar sini yang tak dapat
melanjutkan pendidikan dapat bekerja. Ia juga yang memberikan kapal dan jala
secara cuma – cuma pada Ayah sehingga Ayah bisa melaut seperti sekarang. Kau
tahu Kirana, tepat di hari saat kau mengutarakan keinginanmu untuk mentraktir
teman – temanmu di De Opera, sorenya tersiar kabar bahwa Juragan Mardi terkena
musibah. Saat hendak mengganti kaca jendela di lantai dua rumahnya, tangga yang
ia gunakan oleng. Ia terjatuh, demikian pula kaca yang dipegangnya. Malangnya,
kaca itu jatuh tepat di dekat wajah Juragan Mardi, sehingga serpihan –
serpihannya masuk ke dalam matanya. Saat dibawa ke Rumah Sakit, Dokter yang
memeriksa menyatakan bahwa Juragan Mardi telah mengalami kebutaan akibat
goresan kaca di bola matanya. Hal ini terang saja membuat keluarga dan segenap
pekerja terpukul. Juragan Mardi adalah orang yang arif lagi bijaksana. Kami
semua membutuhkannya sebagai sosok pemimpin. Istri Juragan Mardi tak mau
menyerah pada kenyataan. Ia berkeliling ke sana kemari, dari Rumah Sakit satu
ke yang lain, untuk mencari donor mata. Ia bahkan berani memberikan apa saja
untuk orang yang bersedia mendonorkan matanya untuk Juragan Mardi.
Saat itulah batin
Ayah tergerak, tak hanya untuk membalas jasa Juragan Mardi pada Ayah, tapi Ayah
juga ingin membahagiakanmu. Maka di sinilah Ayah sekarang, Rumah Sakit. Ayah
sedang menunggu waktu operasi. Ya Anakku, Ayah berikan sepasang mata Ayah pada
Juragan Mardi, dan sebagai gantinya Ayah mohon pada istri Juragan Mardi untuk
memberi sejumlah uang yang nantinya dapat kau gunakan bersama teman – temanmu
untuk makan di De Opera. Tak perlu kau tanyakan bagaimana perasaan Ayahmu ini,
Nak. Satu yang bisa Ayah katakan: Bahagia. Ayah bahagia bisa membuatmu senang.
Ayah membayangkan kau tertawa gembira bersama teman – temanmu kala menikmati
hidangan di De Opera. Ayah senang, akhirnya Ayah bisa menjadi alasan di balik tawamu,
Nak.
Ini adalah surat
terakhir yang mampu Ayah tulis. Mungkin ini terdengar aneh untukmu, tapi Ayah
ingin mengatakan bahwa Ayah sangat menyayangimu, Kirana. Ayah bangga punya
putri yang cantik dan cerdas sepertimu. Semoga kelak kau bisa meraih cita – cita
yang kau inginkan ya, Nak.
Salam Sayang,
Ayah
***
Gadis
itu ternganga membaca surat yang disampaikan oleh wanita yang baru saja
mendatangi rumahnya. Sedetik kemudian air mata gadis itu menetes satu persatu,
lama kelamaan ia sesenggukan. Sungguh, ia tak mengira keegoisannya selama ini membuat
Ayahnya berkorban hingga sejauh itu. Terputar kembali dalam ingatannya di kala
ia membentak Ayah lantaran makanan yang tersedia di rumah hanya sekedarnya.
Teringat ia bagaimana ia merajuk pada Ayah untuk dibelikan sepatu baru, yang
modelnya serupa dengan kawan – kawannya. Bagaimana ia membual mengenai rumah
dan orang tua kepada teman – temannya, lantaran ia malu memiliki Ayah seorang
nelayan, dan, ah, bagaimana ia merajuk pada Ayah untuk merayakan ulang tahun di
De Opera Beach Club. Ia tahu, bukan hal mudah bagi Ayah untuk mengabulkan semua
itu, namun Ayah tak pernah memarahinya.
“Sabar
ya Nak, suatu saat kau pasti mendapatkan apa yang kamu inginkan.” Demikian
Ayahnya selalu mencoba menenangkan dirinya setiap kali ia merajuk. Namun ia tak
pernah mau mengerti, hingga akhirnya Ayah mengambil langkah yang jelas tidak
mudah untuk dilakukan orang lain. Ayah mengorbankan matanya demi membuatnya,
putri satu – satunya, mengecap kebahagiaan. Ia sadar bahwa apa yang ia lakukan
sudah kelewat batas, hingga Ayahnya berpikir sedemikian rupa. Namun apa boleh
buat, nasi sudah menjadi bubur. Ayahnya kini telah buta, otomatis Ayah tak
dapat melaut lagi.
Wanita
itu, yang datang untuk mengantarkan surat dan sejumlah uang, tercenung menyaksikan si gadis yang menangis
sesenggukan. Kasihan, gadis ini pasti sangat terpukul,”Kirana, sabar ya, Nak.
Ayahmu orang baik. Ia berjiwa besar dan mau mengorbankan dirinya demi
kepentingan orang lain. Banggalah kamu memiliki Ayah seperti dia, Nak. Sayangilah
dia, karena ia adalah harta satu – satunya yang kau punya. Kebahagiaan di dunia
tak ada artinya jika tak ada keluarga yang menemani kita, Nak.”ujar wanita itu
lembut. Gadis itu mendongak, lalu mendekap wanita itu. ”Bu Mardi, tolong bawa
saya ke rumah sakit, ya. Saya ingin bertemu Ayah, saya ingin memeluk dan
mencium kakinya. Saya memang anak tak tahu diuntung, Bu, sampai – sampai Ayah
melakukan semua ini demi saya.”
Wanita
itu menitikkan air mata haru. Ia mengangguk. Ya, kenyataan yang harus diterima
gadis itu memang menyedihkan. Ayah yang selalu menyayanginya mengorbankan salah
satu inderanya demi kebahagiaan sang anak. Namun, setidaknya ada pembelajaran
yang dapat dipetik oleh gadis itu. Bahwa segala hal duniawi bukanlah sumber
kebahagiaan abadi, melainkan keluarga. Keluarga yang akan selalu ada dan
melindungi kita kapan pun. Itu lah sumber kebahagiaan dan harta yang tak
ternilai.
TAMAT