Dear Ibu,
Apa kabar kau hari
ini, Bu? Tak terasa sudah 22 tahun kau membimbingku di dunia ini. Meski aku
telah lama meninggalkan usia remaja, namun engkau tak pernah berhenti untuk
terus menuntunku agar kelak aku bisa menjadi wanita yang mandiri. Langkahmu tak
pernah putus untuk mengingatkanku di saat aku alpa, meski terkadang aku
mengulangi kesalahan yang sama berulang kali.
Bu, ingatkah Ibu saat
dulu aku masih belajar untuk membersihkan rumah? Dulu aku yang masih kecil belum mengerti
benar betapa pentingnya kemampuan untuk membersihkan rumah sendiri dan
mengerjakan tugasku dengan enggan. Aku berpikir kenapa harus membereskan rumah
setiap hari jika hal itu bisa dilakukan cukup hanya seminggu sekali? Kau pun
menjelaskan bahwa kebersihan harus tetap dijaga setiap saat. Bahwa kebersihan
adalah sebagian dari iman. Rasa terpaksa untuk membersihkan rumah masih melekat
hingga aku memasuki usia remaja. Namun begitu, tak bosan-bosan kau
mengingatkanku untuk tetap rajin menjaga kebersihan setiap hari,”Kebersihan yang
harus dijaga setiap hari bukan hanya kebersihan diri sendiri, tapi juga
kebersihan lingkungan dan tempat tinggal kita,” kau menasihatiku seakan tak
mengenal lelah,”nanti kalau kamu sudah punya rumah sendiri apa kamu juga tidak
memedulikan kebersihan rumahmu? Sekalipun nanti kamu bekerja, kamu harus
memperhatikan kebersihan rumah, apa lagi jika kamu punya anak nanti.” Kata-kata
itu begitu mengena di hatiku, membuatku terdiam. Aku tersadar bahwa semua yang
kau katakan benar adanya.
Ibu, kau adalah
wanita terhebat yang pernah kukenal. Kau selalu bangun paling pagi di antara
yang lainnya, memasak, juga menyiapkan segala keperluan keluarga di rumah.
Setelah segalanya beres, barulah kau menyiapkan keperluanmu sendiri untuk
berangkat bekerja. Ya, pekerjaanmu sebagai guru tak menyurutkan langkahmu untuk
tetap menomor satukan keluarga. Menjelang sore hari, kau baru tiba di rumah dan
masih tetap memperhatikan segala detil di rumah, sekalipun yang terkecil. Hal
itu membuatku kagum sekaligus malu. Bagaimana bisa kau menjalani segala hal itu
tanpa mengeluh? Tidak kah batin dan ragamu lelah, setiap hari harus melayani
kebutuhan semua orang di keluarga, sementara kau sendiri punya kepentingan lain
sebagai seorang pendidik yang juga harus kau perhatikan? Pernah suatu saat aku
menanyakan hal ini padamu, yang kau jawab,”Kalau bukan Ibu, siapa lagi yang
akan melakukan semua ini?” Jawabanmu membuat batinku teriris. Betapa selama ini
sebagai anak perempuan, aku belum bisa berbakti padamu, Bu. Seharusnya aku bisa
meringankan tugas-tugasmu, membantumu di rumah di saat aku senggang. Namun yang
terjadi saat itu aku malah sibuk menghabiskan waktu di luar rumah dengan
teman-teman, tanpa memikirkan betapa sibuknya engkau membagi waktumu. Saat itu juga aku berjanji untuk tak lagi mengecewakanmu. Aku bertekad untuk meringankan beban-bebanmu.
Ah Ibu, betapa
kuatnya dirimu. Kau melakukan segala sesuatu tanpa pamrih. Ketika aku bertanya
bagaimana bisa kau melakukan semua tugas ini dengan ikhlas, tanpa pernah protes
sekalipun, kau hanya menjawab,”Ya, ini sudah menjadi kewajiban Ibu sebagai
istri, sebagai ibu. Seorang ibu harus bisa mengesampingkan segala egonya dan
mementingkan kebutuhan keluarga. Semua itu harus dilaksanakan dengan ikhlas,
atas kesadaran diri sendiri. Nanti jika sudah menjadi istri dan seorang ibu,
kamu pun juga harus demikian. Karena itu mulai saat ini Ibu membiasakanmu untuk
membantu mengerjakan segala pekerjaan rumah.” Aku tercenung. Ternyata segala
hal yang kau tanamkan padaku sejak kecil semata-mata hanya untuk kepentinganku
sendiri. Tak pernah terbersit maksud lainnya di benak Ibu. Kau hanya ingin aku
kelak bisa menjadi wanita yang berguna, istri dan ibu yang baik.
Ibu, izinkan aku
belajar menjalani segala sesuatu dengan ikhlas sepertimu. Aku memang bukan
orang yang dapat mengekspresikan segala sesuatu secara gamblang, namun aku
ingin kau tahu nahwa jauh di dalam hati aku begitu menyayangimu. Karena itu,
aku ingin mempersembahkan surat ini untukmu Bu, sekalipun saat ini bukan
tanggal 22 Desember yang dicanangkan sebagai Hari Ibu. Rasa sayangku selalu
terjaga untukmu setiap saat, meski aku tahu apapun yang
kulakukan takkan mampu membalas kasihmu padaku. Ibu, jika nanti aku telah
menikah dan mempunyai anak, izinkan aku untuk dapat terus belajar darimu akan
nilai-nilai kehidupan, keikhlasan, dan kewajiban sebagai seorang wanita
seutuhnya. Karena sampai kapanpun kau akan tetap menjadi ibu, sahabat, dan guru
terbaik untukku. Terima kasih, Ibu. Kasih sayangmu padaku akan selalu tertanam
di hatiku hingga kapanpun.
Yang
Menyayangimu,
Winta Hari Arsitowati