Setiap pertemuan akan membawa pelajaran tersendiri. Hal itu pula
yang kusadari pagi ini, saat aku dipertemukan secara tak sengaja dengan seorang
nenek tua di puskesmas yang tak jauh dari rumahku.
Suasana puskesmas sudah begitu ramai di pagi ini. Banyak orang
menunggu panggilan berobat. Ada pula yang datang untuk meminta rujukan berobat
ke tempat lain, hal yang saat itu sedang kulakukan bersama ibuku. Di tengah
lalu lalang banyak orang dan panggilan yang silih berganti untuk para pasien di
ruang tunggu, datanglah seorang nenek berpenampilan sederhana, berjalan
tertatih mencari tempat duduk. Melihat keadaan itu, ibu pun menggeser posisi
duduk dari sampingku, memberi tempat agar si nenek bisa duduk tenang sambil
menunggu panggilannya.
Sang nenek itu pun duduk di sampingku, mengeluarkan lembaran
kertas dan nomor panggilan yang diberikan pada semua pasien sebelum memasuki
ruang tunggu. Entah bagaimana pada mulanya hingga terjadi sebuah obrolan
panjang antara aku dan nenek tersebut. Dengan bahasa Jawa krama (halus), beliau
mulai menceritakan tentang penyakitnya. Beliau datang ke puskesmas guna
memeriksakan tekanan darahnya yang melonjak tinggi. Katanya, ia sudah mengantre
di puskesmas kemarin malam, tetapi lantaran jarum jam terus bergeser dan
namanya tak juga dipanggil, sang nenek memutuskan kembali di pagi harinya.
Nenek itu juga menceritakan tentang tempat tinggalnya, tentang
masa muda di mana ia telah menikah di umur 14 tahun. Dari pernikahannya itu, ia
memiliki tujuh orang anak. Malangnya, sang suami meninggalkan nenek itu saat
anak bungsu mereka masih berusia satu tahun. Sejak itu, beliau berusaha
menghidupi ketujuh anaknya dengan menjadi tukang masak dan cuci di sebuah rumah
sakit di Surabaya. Tak hanya itu, nenek juga berusaha menambah pemasukan dengan
berjualan di pasar.
“Selama 77 tahun, saya sudah pernah merasakan berbagai keadaan
hidup. Bagaimana menjadi orang berkecukupan, bagaimana menjadi orang susah.
Tapi ketika kesulitan datang menghampiri, tentunya saya tidak boleh tinggal
diam. Saya harus berusaha menafkahi anak-anak saya.” sang nenek meneruskan
pembicaraannya, masih dengan bahasa Jawa krama. Sambil terus mendengarkan, aku
memperhatikan nenek tersebut. Wajah renta itu telah penuh dengan keriput.
Tangannya sesekali gemetar ketika memegang nomor urut panggilannya. Namun
begitu, ada ketabahan tersirat dari raut wajahnya. Ketabahan dalam menjalani
asam garam kehidupan. Juga kekuatan untuk berjuang meneruskan hidup.
Serta merta, sang nenek berkata sambil menepuk pundakku,“Sabar
saja. Apapun yang terjadi harus dilalui dengan ikhlas. Jalani, minta petunjuk
Gusti Allah. Tunggulah, semua punya jalan yang terbaik masing-masing.” begitu
kurang lebih beliau betutur. Aku tertegun sejenak, namun segera mengangguk.
Perkataan nenek itu memang benar, namun yang membuatku terpaku adalah isi
penuturan terakhirnya yang begitu merasuk ke pikiranku. Membuatku jadi
merenung. Mungkin selama ini ada kalanya aku kurang sabar dalam menghadapi
segala sesuatu. Mungkin terkadang aku masih mengerjakan sesuatu dengan setengah
hati. Hingga aku lupa bahwa segala sesuatu di dunia memang butuh proses, butuh
usaha untuk bisa memperbaiki keadaan di sekitar kita. Dan oleh nenek ini, aku
seakan diingatkan bahwa hidup memang terkadang tak berjalan seperti apa yang
kita inginkan, tapi bukan berarti kita tak bisa mengubahnya. Jalani saja semua
dengan sabar dan ikhlas, maka Allah akan menunjukkan jalan terbaik untuk kita.
Pembicaraan dengan sang nenek terputus ketika namaku dipanggil
ke dalam ruang periksa. Dan hingga pulang dari puskesmas, aku terus merenungkan
perkataan nenek yang hingga kini tak kuketahui namanya tersebut. Mungkin
pertemuanku dengan nenek tua itu telah direncanakan oleh Yang Di Atas untuk
memberikan pesan tersendiri buatku. Nenek, terima kasih atas nasehatnya. Cerita
hidupmu yang sarat makna takkan kulupakan. Semoga aku bisa menjalani hidup
dengan lebih sabar dan ikhlas, sepertimu.
-wintarsitowati-