Bukan
hal yang biasa bagiku untuk mengacuhkan hujan, terlebih hujan yang bertepatan
dengan tanggal di hari ini. Biasanya saat rintik hujan mulai terdengar, aku
selalu menyempatkan diri untuk duduk di balkon rumah yang menjadi spot
kesukaanku. Aku begitu betah duduk di sana, menikmati bunyi air yang berjatuhan
beserta terpaan angin sejuk. Sesekali percik air mengenai wajahku. Rasanya
sangat tenang, menyaksikan hujan turun sembari merenungi potongan cerita yang
ada di sekitarku. Namun demi menyelesaikan pekerjaan menumpuk, terpaksa
kesenangan itu harus kutunda.
Begitu
semua tugas terselesaikan, aku menarik nafas lega, sembari menyandarkan kepala
di sandaran kursi. Aku pun beranjak ke tempat tidur seraya meraih ponsel.
Membukanya sembari mengistirahatkan segala kepenatan tubuh barang sejenak. Satu
panggilan tak terjawab, tiga pesan masuk. Semuanya dikirim olehmu. Refleks, aku
mencari kontakmu dan memencet simbol telepon.
“Halo...”
laki-laki di seberang mengangkat telepon.
“Hai,
tadi ada apa kamu hubungi aku?”
“Tidak
apa-apa, hanya ingin mengobrol. Mengganggu kah?”
“Tidak.
Tadi memang aku sedang menyelesaikan tulisan untuk majalah edisi bulan depan.”
“Oh
iya? Deadline-nya kapan? Apa sudah
selesai?”
“Sudah,
deadline-nya besok, makanya tadi aku ngebut mengerjakan, hehe..”
Kudengar
tawa kecil di seberang sana, disambung dengan desah lega.
“Berarti
sekarang sudah bisa mengobrol kan?”
Ganti
aku yang tertawa kecil. Beranjak dari tempat tidur menuju balkon.
“Tentu.
Mengobrol santai kan bisa jadi cara yang tepat untuk melepas kejenuhan akan
tugas seharian ini. Lagipula suasananya pas sekali, karena di sini sedang
hujan."
"Wah
kebetulan sekali. Di daerahku juga sedang hujan, lho. Apakah di sana hujannya
dibarengi petir?"
"Untungnya
tidak. Kamu kan tahu aku paling takut mendengar suara petir, hehehe.."
"Iya.
Kalau mendengar suara petir kamu pasti akan langsung berjongkok sambil menutupi
kedua telingamu, persis dengan yang kamu lakukan setahun lalu."
"Hahaha
iya.. Kamu masih ingat rupanya dengan kejadian setahun lalu itu?"
"Mana
mungkin aku lupa? Setahun lalu adalah pernikahan Nina, sahabatku yang juga
merupakan teman masa kecilmu. Dan di situ pula kita pertama kali bertemu."
"Iya.
Saat itu kita juga berfoto dalam satu frame
yang sama, padahal kita belum kenal sebelumnya, tapi karena kita sama-sama
dipanggil ke depan sebagai sahabat Nina, jadilah kita berfoto bersama dengan
Nina dan keluarganya juga."
"Iya.
Dan saat keluar dari gedung ternyata hujan deras sekali, hahaha." kamu pun
tergelak, mengingat memori masa itu. Membawaku kembali pada perkenalan pertama
kita.
"Hahaha,
kamu kok semangat sekali tiap membahas soal hujan kala itu. Senang ya,
melihatku ketakutan saat petir di luar menyambar-nyambar begitu?"
"Hei,
bukannya aku mau bahagia di atas penderitaan orang atau bagaimana. Hanya saja
aku merasa geli melihatmu saat itu. Ternyata di era modern seperti ini masih
ada wanita dewasa yang takut mendengar petir." kau tertawa
terpingkal-pingkal. Aku mendengus, pura-pura kesal.
"Dari
situ pula perkenalan kita bermula. Ingat saat kau berusaha menenangkanku?
Membawaku kembali masuk ke dalam gedung, menemaniku hingga hujan reda?"
"Mana
mungkin aku lupa. Kau tampak menggigil ketakutan saat itu, siapa yang tak
kasihan melihatmu. Terlebih saat kau ceritakan bahwa kau sudah takut petir
sejak kecil." suara di seberang itu kembali terkekeh. Aku menikmati derai
tawa itu.
"Ya,
sejak kecil aku takut petir, tapi anehnya aku tak pernah takut ketika hujan
turun, bahkan selalu suka. Dan ternyata kau pun menyukai hujan."
"Iya,
ketika kecil, saat hujan turun, aku dan kawan-kawanku kerap bermain hujan,
menghabiskan waktu di kebun belakang rumahku. Rasanya sangat menyenangkan. Kami
bahkan masih bermain sepak bola kala hujan seperti itu, hal yang membuatku
langsung dimarahi ibu begitu masuk ke dalam rumah karena lantai rumah jadi
kotor akibat lumpur dan air yang menetes dari sekujur tubuhku." kau
kembali tergelak. Aku ikut tertawa.
"Dari
pembicaraan soal hujan itu, obrolan kita langsung menyebar ke mana-mana ya.
Kita ternyata memiliki ketertarikan akan buku yang sama, film, juga musik yang
sama."
"Kita
bahkan baru tahu saat itu kalau kita pernah mengikuti program pertukaran
pelajar yang sama, dan hanya lolos sampai tahap wawancara, hahaha.."
"Yah..
Kadang memang suatu hal yang tak disengaja dapat membawa warna baru dalam hidup
kita. Siapa sangka hujan kala itu akan membawa kita sejauh ini? Tapi...
bukankah tak ada yang serba kebetulan di dunia ini?"
"Ya,
mungkin memang kita sengaja dipertemukan melalui pernikahan Nina, melalui
obrolan soal hujan itu. Kalau tidak demikian, tak mungkin sampai saat ini kita masih
bisa saling berkomunikasi, bahkan mengobrol lewat telepon, kan?"
"Hahaha
tentu saja. Eh, ngomong-ngomong soal obrolan, apa yang mau kamu bicarakan saat
tadi meneleponku?"
"Oh
itu. Hmm, tidak apa-apa. Aku hanya terkenang pertemuan kita, persis setahun
lalu di tanggal ini kan?"
"Iya,
benar. Lantas kenapa?"
"Tidak
apa-apa. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu ya. Kira-kira apa yang akan
terjadi setahun berikutnya ya?" pertanyaanmu membuat mataku menerawang,
memandangi langit mendung dan air hujan yang mengucur membasahi tanah.
"Hmm..
yang pasti aku masih akan suka pada hujan. Ya mungkin aku akan berusaha melawan
ketakutanku akan petir. Di mana-mana hujan kan biasanya disertai petir. Aku tak
dapat menikmati hujan dengan santai kan kalau harus menutupi telinga saat petir
datang begitu, hahaha."
"Ya,
lalu bagaimana dengan kita sendiri?"
"Hah?
Bagaimana maksudnya?"
"Hmm..
Masih boleh kah aku mencarimu di tanggal yang sama, di musim hujan setahun
nanti? Bolehkah aku menjadikanmu teman mengobrol dan berbagi segala hal?"
"...."
"Kamu
masih di situ?"
"Iya,
aku di sini. Hmm, kita tak akan tahu apa yang terjadi pada kita ke depannya,
namun yang aku tahu, aku ingin bisa membagi semua hal yang ada denganmu, ingin
bercerita banyak hal dan saling tertawa satu sama lain. Dan.. ya, kau tentu
boleh mencariku di tanggal ini pada musim hujan mendatang, atau musim-musim
lainnya. Karena saat kau datang kembali nanti, maka semuanya akan jelas
sudah." aku kembali mendengar kelegaan dari seberang sana.
"Baiklah
kalau begitu. Terima kasih sudah mau mengobrol denganku. Selalu menyenangkan
menghabiskan waktu bicara denganmu."
"Sama-sama.
Senang bisa mengobrol denganmu." ada jeda diam sejenak di antara kami,
seakan satu sama lain begitu susah mengakhiri sambungan telepon.
"Well, selamat menikmati hujan."
"Iya,
selamat hujan-hujanan juga ya."
-wintarsitowati-