Matahari mulai mengintip malu-malu, memancarkan sinar lembutnya melalui
jendela. Aku pun terjaga. Sejenak aku menguap dan meregangkan otot-otot
tubuhku. Rasanya tidak ingin bangun dari tidurku semalam, mengingat mimpiku
yang begitu indah.
“Selamat pagi, Mas Dudi.”sebuah suara
lembut seketika mengusir rasa kantukku entah kemana. Aku menoleh ke arah suara
itu. Tampak gadisku berdiri dengan anggun di dekat jendela, membuatku
bersemangat untuk memulai pagi ini. Ah, seperti biasa dia selalu bangun lebih
pagi dari aku, menungguiku yang masih tertidur lelap, dan menyambutku dengan
senyumannya yang manis.
“Selamat pagi, Sayang.. Kamu pasti sudah bangun sedari tadi ya?”ujarku,
beringsut dari tempat tidur dan mendekatinya. Mengecup mesra keningnya dan
membelai lembut rambutnya. Yang ditanya hanya tersenyum. Aku terpukau
melihatnya.
“Kamu tahu, Nalini? Semalam aku mimpi bahwa kita berdua menikah. Aku
bahagia sekali. Kamu berdiri di sampingku dengan gaun pengantin putih dan
tampak begitu cantik, Sayang..”Aku memegang erat tangannya,”Tidakkah itu mimpi
yang indah, Sayang? Pasti lebih indah jika mimpi itu jadi kenyataan..”
Dia masih saja tersenyum, memandangku dengan pandangan penuh cinta,“Mas
bukannya hari ini ada janji dengan Ibu Mas jam sepuluh ya? Lalu kenapa Mas
tidak segera mandi?” dia mengingatkan. Aku menepuk dahiku. Oh ya, aku baru
ingat kalau aku sudah janji mau mengunjungi Ibuku hari ini. Kemarin Ibu
menelepon, katanya sudah rindu sekali padaku. Di satu sisi aku merasa Ibu agak
berlebihan. Aku baru saja pindah ke rumah ini sebulan yang lalu. Rumah di
pinggir kota, yang kubeli dari hasil
kerja kerasku sebagai pematung. Aku tak pernah menyangka pekerjaan yang berawal
dari hobi ini akan mengantarkanku pada kesuksesan. Mengingat bahwa selama ini
Ibu selalu menentang keinginanku sejak kecil untuk menjadi pematung.
***
“Tidak usah macam-macam, Dud. Buat apa kamu mengikuti jejak almarhum
Bapakmu? Ibu akui, jiwa seni dan imajinasi Bapakmu memang hebat, ia bisa
mencurahkan seluruh waktunya demi membuat sebuah patung. Tapi kamu lihat Dud,
apa pekerjaan Bapakmu bisa mencukupi hidup kita? Tidak Dudi. Kamu ingat kan,
Bapakmu meninggal karena penyakit paru-paru, dan saat itu kita tidak punya
cukup uang untuk membiayai operasinya. Ibu tidak mau setelah dewasa nanti kamu
hidup menderita lagi dalam kemiskinan, Dudi. Ibu tidak sanggup harus kehilangan
kamu setelah kehilangan Bapakmu.”
Masih terngiang kata-kata Ibu saat aku masih berusia sepuluh tahun dan
mengutarakan niatku untuk menjadi pematung seperti Bapak. Ya, Bapakku memang
pematung yang hebat. Sejak kecil aku senang mengamati Bapakku saat beliau
sedang asyik dengan pekerjaannya. Melihatku tertarik pada patung-patung buatannya,
Bapak tentunya gembira karena akan ada yang meneruskan profesinya.
“Lihat patung-patung buatan Bapak, Dud. Mereka seperti hidup ya? Itu karena
Bapak mengerjakannya dengan sepenuh hati. Saat Bapak mengerjakan sebuah patung,
bapak seakan meniupkan ruh pada patung tersebut, maka patung itu tampak bernyawa. Jika kamu memang tertarik pada seni
mematung, tekunilah hal itu Dud. Teruslah berlatih membuat patung. Karena
segala sesuatu yang ditekuni dengan sungguh-sungguh akan membuat diri kita
memiliki nilai yang lebih dari orang lain.”
Itulah pesan Bapak yang diutarakan tiga bulan sebelum beliau meninggal. Aku
tak menyalahkan Ibu yang selalu melarangku untuk mewujudkan cita-citaku sebagai
pematung. Pasti Ibu sangat terpukul dengan kepergian Bapak dan tak ingin
kehilangan untuk kedua kalinya. Ibu juga tak ingin aku nantinya harus melalui
masa-masa sulit yang sama dengan masa kanak-kanakku. Memang, Bapak tidak bisa
menjanjikan banyak uang untuk kami. Tapi aku tak dapat membohongi diri bahwa
aku sangat tertarik terhadap seni mematung. Darah seni Bapak mengalir deras di
tubuhku dan aku merasa bahwa hanya dengan mematung aku mendapatkan kepuasan
tersendiri dalam hidup.
Maka aku pun berusaha keras. Diam-diam sejak aku berusia tujuh belas tahun,
aku membuat patung tanpa sepengetahuan Ibu. Patung-patung itu sebagian aku
tawarkan di Pasar Seni. Ada pula yang kutitipkan di galeri-galeri seni.
Ternyata salah seorang pemilik galeri tertarik pada patung-patungku. Ia pun
membeli sebuah patung itu dan menawarkan untuk mengikutkan patung- patungku
yang lain dalam sebuah pameran bersama pematung pemula lainnya. Tentu saja aku
tak dapat menolak. Dari situlah sedikit demi sedikit aku berusaha membuktikan
pada Ibu bahwa profesiku sebagai pematung tidak seburuk yang Ibu bayangkan.
“Ibu boleh saja sedih karena kepergian Bapak, tapi tolong jangan halangi
saya untuk menekuni pekerjaan ini, Bu. Ini hidup saya, dan saya berjanji, saya
akan membuat Ibu bahagia.” Ujarku saat pertama kali memberi tahu Ibu bahwa aku
mengikuti sebuah pameran patung. Akhirnya Ibu dapat memberikan restu penuh pada
profesiku ini. Aku pun tak ingin mengecewakan Ibu. Tahun lalu, aku telah
berhasil merenovasi rumah tua kami menjadi sebuah rumah yang indah, dilengkapi
dengan taman yang asri dan kolam ikan di halamannya. Hal ini sesuai dengan
keinginan Ibu, yang memang hobi merawat tanaman. Usaha mematungku juga makin
berkembang. Tak jarang aku menerima pesanan dari luar negeri. Baru-baru ini aku
juga berhasil menyelenggarakan pameran tunggal.
Puncaknya, aku membeli sebuah rumah di pinggiran kota ini. Rumah yang tidak
terlalu besar, namun cukup untuk kutinggali sendiri. Lokasinya yang terletak
dekat hutan dan sungai juga sangat nyaman dan jauh dari keramaian, sehingga
memudahkanku mendapat inspirasi untuk mematung. Dengan alasan inspirasi itu lah
aku memutuskan untuk pindah dari rumah Ibu dan tinggal sendiri, dengan perjanjian
bahwa aku akan rutin mengunjungi Ibu seminggu sekali.
Ibu sendiri menyanggupi hal itu. Kini Ibu bisa tersenyum bangga melihat
putranya telah menjadi pematung yang sukses. Semua tampak sempurna bagi Ibu.
Semua. Kecuali satu. Ibu ingin melihatku bersanding di pelaminan.
***
“Kamu tidak boleh mengelak lagi, Dudi. Sudah berapa kali kamu menolak
bertemu dengan gadis yang ingin Ibu jodohkan dengan kamu?”Kedatanganku kali itu
kembali disambut Ibu dengan kalimat serangan itu. Kenapa Ibu tidak membiarkanku
beristirahat sebentar saja? Bagaimana pun juga aku rindu dengan suasana rumah
ini. Rumah yang telah kuhuni selama dua puluh sembilan tahun, dan baru saja
kutinggal selama satu bulan. Begitu banyak kenangan yang kudapat di rumah ini. Ibu
melahirkanku di sini. Di sini pula aku pertama kali mengenal seni mematung
melalui Bapak. Ah Bapak, andai saja kau bisa menyaksikan bahwa anakmu telah
mengikuti jejakmu dan menjadi orang sukses...
“Dudi, Ibumu ini sudah bertambah tua. Kamu pun sudah cukup umur untuk menikah.
Ibu pun tahu bahwa tak sedikit gadis yang tertarik padamu. Lantas apa lagi yang
kamu tunggu, Nak?”
Lagi-lagi pertanyaan itu yang terlontar dari mulut Ibu. Aku merebahkan
tubuhku ke kursi antik kesayangan Bapak. Sedetik kemudian aku tersenyum.
“Ibu tidak perlu khawatir, saya
sudah punya calon yang akan saya perkenalkan pada Ibu. Saya yakin Ibu tidak
akan kecewa dengan pilihan saya”
“Benar, Dud? Siapa dia? Kenapa kamu tidak pernah cerita pada Ibu?”
Aku tersenyum penuh arti.”Namanya Nalini, Bu.”
“Nalini? Wah,namanya bagus sekali, seperti pemain film India lawas yang
cantik itu..”decak Ibu kagum,”Apa dia juga cantik, Dud?”
“Tentu, Bu. Dia memang cantik, secantik namanya.. Rambutnya panjang dan
tergerai indah. Kulitnya kuning langsat, dengan mata yang berkilau bagai
permata.. Bu, dia adalah hal terindah yang pernah saya temui..”desahku. Ibuku
tersenyum-senyum,memperhatikanku.
“Tampaknya kau benar-benar sedang kasmaran, Nak. Sejak kapan kau
mengenalnya?”
“Sebenarnya kami sudah lama saling kenal Bu, namun kami baru intens
berhubungan beberapa bulain yang lalu. Dia adalah cinta pertama saya, Bu. Entah
kenapa begitu melihatnya saya langsung jatuh cinta. Dia adalah sumber inspirasi
dan penyemangat saya untuk berkarya. Ketika tahu bahwa perasaan saya tidak
bertepuk sebelah tangan, rasanya gembira sekali..”Mataku menerawang saat
membicarakan tentang gadis yang kucintai.
“Kalau begitu segera pertemukan Ibu dengan gadismu itu ya. Ibu ingin
mengenalnya lebih jauh, sekaligus membicarakan pernikahan kalian.”tukas Ibu sambil
mengedipkan mata. Ah, Ibu. Kalau saja Ibu tahu bahwa aku sendiri sudah tak sabar
untuk membawa gadisku kemari.
***
“Benarkah, Mas? Kamu mau mengajakku menemui Ibumu?”ujarnya setengah
menjerit kegirangan.
Aku menatap lembut gadisku itu,”Iya, Sayang.. Aku sudah cerita pada Ibuku
bahwa aku sudah punya calon istri, yaitu kamu. Ibuku juga senang dan sudah
tidak sabar untuk bertemu denganmu. Kamu mau kan, Sayang?”Aku bisa melihat
bahwa gadisku itu sedikit gugup.
“Iya Mas, tentu aku mau... tapi... bagaimana jika nanti setelah bertemu
denganku, Ibu Mas Dudi tidak menyukaiku?”dia mulai mengutarakan kegelisahannya.
Aku tersenyum. Kutatap matanya lekat-lekat sembari membelai wajahnya.
“Kamu tidak perlu risau, Nalini sayang. Ibuku pasti setuju dengan
pilihanku. Jikalau nanti hal yang terburuk pun terjadi, aku akan tetap
mencintaimu,”ujarku seraya memeluknya,”Kita pasti akan bersatu, Nalini. Aku
janji...”
***
Seminggu setelah pembicaraan itu, aku mengajak Nalini menemui Ibuku di
rumah. Sesampainya di rumah, aku meminta Nalini untuk menunggu di mobil dulu.
Aku ingin memberi kejutan pada Ibuku tersayang. Aku masuk ke rumah dengan menggunakan kunci
duplikat dan segera disambut Ibu dengan wajah sumringah.
“Mana dia? Apakah calon menantuku datang juga, Dud?”tanya Ibu tak sabar
sembari membawaku ke ruang tengah.
“Iya, Bu. Itu dia sedang menunggu di mobil, kami sengaja ingin memberi
kejutan pada Ibu”
“Oya? Ibu sudah tak sabar ingin bertemu. Apa dia benar-benar cantik, Dud?”
“Dia sempurna. Ibu tidak usah khawatir dengan gadis pilihan saya.. Ah, saya
benar-benar mencintainya, Bu.”
“Lalu tunggu apa lagi? Lekas bawa dia kemari saja Dud. Kalian tunggu
sebentar di sini ya, Ibu siapkan kue dan minuman dulu.”ujar Ibu sambil berlalu
ke dapur, masih dengan senyum lebar di wajahnya. Belum pernah kulihat Ibu
begitu bahagia. Di satu sisi aku pun bahagia. Akhirnya aku bisa mengenalkan
gadis yang kucintai. Gadis pilihanku. Sebentar lagi kami akan bersatu. Maka aku
segera menuju mobil dan mengajak Nalini untuk masuk ke dalam rumah. Kami pun berjalan
bersama menuju ruang tamu. Saat itu pula Ibu datang sambil membawa senampan kue
dan minuman.
“Ibu, perkenalkan.. Ini Nalini, gadis yang saya cintai..”ujarku
memperkenalkan gadisku pada Ibu. Saat itu lah Ibu memekik kaget hingga nampan
yang dibawanya terjatuh. Kue-kue pun jatuh berhamburan dan gelas-gelas pun
pecah berantakan, memercikkan air di sana-sini. Aku pun terperangah pada sikap
Ibuku.
“Bu, ada apa? Kenapa Ibu sepertinya kaget dan gelisah begitu?”
“Dud! Dudi! Kamu bercanda kan, Nak? Bukan ini kan Nak yang kamu maksud
gadis pilihanmu?”
“Ibu, dia memang Nalini. Coba lihat baik-baik. Nalini gadis yang cantik
sekali kan? Dia adalah gadis yang saya cintai, Bu. Saya ingin menikahinya, Bu.
Kami saling mencintai.”
“Kamu jangan bercanda Dud! Kamu tak bisa menikah dengan dia, Anakku!”
Kulihat Ibuku sesenggukan. Aneh, mengapa Ibu tidak terlihat senang dengan semua
ini?
“Kenapa, Bu? Saya mencintai Nalini dengan sepenuh hati! Saya ingin
membahagiakan Ibu, namun mengapa Ibu malah melarang saya menikahinya? Bukankah
Ibu ingin melihat saya menikah dengan gadis pilihan saya?”aku mulai kehilangan
kesabaran. Bagaimana pun juga aku tak ingin kehilangan Naliniku.
“Dudi.. sadarlah, Nak.. Kamu tidak bisa menikahi Nalini! Sampai kapanpun
juga tidak akan bisa!”seru Ibu dibarengi sedu sedannya.
“Tapi kenapa, Bu? Adakah yang salah dari Nalini sehingga saya tak dapat
menikahinya? Dia adalah gadis paling sempurna yang pernah saya temui, Bu. Dan
apa pun yang terjadi saya akan tetap menikahi Nalini!”aku berteriak, tak rela
jika harus berpisah dengan Nalini.
“Dudi anakku, sadarlah, Nak.. Ibu tahu Nalini memang sempurna.. Namun kamu
tetap tidak bisa menikahinya, Nak.. Lihatlah baik-baik, Nak.. Nalinimu ini
adalah patung! Ibu mengerti kau mewarisi bakat mematung seperti ayahmu, tapi
bukan berarti kamu harus mencintai patung secara berlebihan begini....”Ibu
jatuh terduduk sambil menangis tersedu-sedu. Aku terperanjat. Tidak.. Ini tidak
benar! Naliniku adalah sosok yang nyata! Nalini bukan patung! Dia gadisku!
Gadis yang amat kucintai...
***
Wanita setengah baya itu memandangi putra satu-satunya
dari balik jeruji jendela kamar di depannya. Hatinya teriris-iris melihat
tingkah laku anak semata wayangnya tersebut. Ya, dia masih seperti yang dulu.
Wajahnya tetap rupawan walau dengan penampilan berantakan dengan balutan
seragam piama. Namun yang menyedihkan, dia masih saja berbicara dengan patung
itu! Ya, patung seorang gadis yang dinamakannya Nalini. Patung yang dibuatnya
dengan sepenuh hati dan dicintainya melebihi dirinya sendiri.
Ada penyesalan yang dirasakan wanita itu jika mengingat
masa lalu. Andai saja dari awal ia mendukung keinginan anaknya untuk menjadi
pematung, mungkin hal ini tak akan terjadi. Mungkin kewarasan putranya
tersayang itu akan tetap terjaga. Benar, sejak kecil anaknya memang sudah
menunjukkan minat dan bakatnya pada seni mematung. Hal yang persis sama dengan
almarhum ayahnya, yang juga seorang pematung. Namun sayang, rasa cinta yang
berlebihan pada dunia itu pula yang menghilangkan akal sehatnya. Terlebih lagi
batinnya tertekan lantaran ibu yang seharusnya memberi semangat malah
melarangnya untuk menekuni dunia yang ia senangi. Dalam kekalutan, ia berusaha
membuktikan kemampuannya. Begitu cintanya dia dengan dunia itu sehingga ia
mengerjakan patung dengan sepenuh jiwanya. Patung-patung itu nyaris sempurna
dan diminati banyak orang.Dari tangannya pula terlahirlah Nalini, yang di
matanya merupakan gadis sempurna dan menjadi pujaan hatinya. Nalini adalah
satu-satunya patung ciptaannya yang tak diperjual-belikan.
“Apa dia selalu berbicara dengan patung itu setiap saat,
Dok?”tanya wanita itu pada dokter yang sehari-hari memeriksa keadaan anaknya.
“Begitulah, Bu. Saya rasa hingga saat ini keadaan Dudi
belum menunjukkan adanya kemajuan.”jawaban sang dokter membuat wanita itu makin terluka,“Dudi menganggap
bahwa patung itu benar-benar hidup, seorang gadis cantik bernama Nalini. Dia
selalu berkata bahwa sampai kapan pun ia tidak akan mau berpisah dengan Nalini.
Yang ada dipikirannya saat ini hanya Nalini dan Nalini.”
Wanita itu terhenyak. Ia menelan ludah,kemudian
bertanya,”Apakah mungkin Dudi masih bisa kembali seperti sedia kala, Dok?”
Dokter itu menghela nafas panjang dan melepas
kacamatanya,”Kami akan berusaha untuk melakukan yang terbaik, Bu. Kami akan
coba untuk melakukan pendekatan lebih lanjut pada Dudi. Namun itu semua juga
tergantung pada kondisi kejiwaannya. Ya, kita sama-sama berdoa saja untuk yang
terbaik, Bu.”
Wanita setengah baya itu kembali melihat ke dalam kamar
melalui jeruji jendela. Dilihatnya sang anak memeluk patung itu. Matanya
terpejam, tampak begitu bahagia. Ya, lelaki itu amat bahagia. Keinginannya
terwujud sudah untuk tetap bersama dengan Nalini, gadis yang amat sempurna
baginya.
*Cerpen ini telah dimuat dalam buku antologi Proyek Menulis Love Never Fails, diterbitkan pada Maret 2014 oleh NulisBuku
No comments:
Post a Comment