What's new?

Saturday, January 4, 2014

Adikku Sayang, Adikku Malang

Mataku nanar menatap etalase toko di hadapanku. Sejenak aku celingukan, memastikan tidak ada orang yang berjalan menuju toko ini.

Aku mengendap-endap, mengawasi pemilik toko, ibu gendut yang sedari tadi terkantuk-kantuk di pojok ruangan. Perlahan kudekati barang yang sedari tadi kuincar, tak dapat menahan diri untuk segera mengambil dan membawanya pergi.

“Maling! Maling!” Naas bagiku, seorang gadis tiba-tiba masuk ke dalam toko dan memergoki perbuatanku, membuat sang pemilik toko terbangun. Sialnya, orang-orang di sekitar toko yang ikut mendengar teriakan tersebut sontak berdatangan. Beramai-ramai pula mereka menghujaniku dengan bogem mentah.

Di sela-sela keroyokan yang kuterima dari massa, mataku masih memandang nanar pada kue tart yang batal kucuri, kini berceceran di lantai, terinjak-injak. Hatiku masygul. Musnah sudah harapanku untuk memberi kejutan pada adikku tercinta di rumah. Ingatanku melayang pada cerita adikku yang polos itu, beberapa hari lalu selepasku menyemir sepatu di pasar.

“Bang, tadi saat mengaji teman-teman Ani banyak yang cerita kalau setiap setahun sekali mereka selalu dapat banyak hadiah dari orang tua dan keluarga mereka. Mereka juga makan kue coklat yang besar dan lezat. Ani ingin sekali bisa seperti mereka, Bang. Dapat hadiah dan makan kue bersama Abang dan Ayah Ibu.. Tapi sepertinya tidak mungkin ya, Bang.. Ayah dan Ibu kan sudah tidak ada..”

Aku menangis. Bukan karena pukulan bertubi-tubi yang dilakukan orang-orang padaku, melainkan karena ingat adik kecilku yang malang. Ah Adikku sayang, mengapa begitu susah bagiku untuk bisa membahagiakanmu walau hanya setahun sekali saja?