What's new?

Friday, September 11, 2015

Pelajaran Hidup dari Sang Nenek

Setiap pertemuan akan membawa pelajaran tersendiri. Hal itu pula yang kusadari pagi ini, saat aku dipertemukan secara tak sengaja dengan seorang nenek tua di puskesmas yang tak jauh dari rumahku.

Suasana puskesmas sudah begitu ramai di pagi ini. Banyak orang menunggu panggilan berobat. Ada pula yang datang untuk meminta rujukan berobat ke tempat lain, hal yang saat itu sedang kulakukan bersama ibuku. Di tengah lalu lalang banyak orang dan panggilan yang silih berganti untuk para pasien di ruang tunggu, datanglah seorang nenek berpenampilan sederhana, berjalan tertatih mencari tempat duduk. Melihat keadaan itu, ibu pun menggeser posisi duduk dari sampingku, memberi tempat agar si nenek bisa duduk tenang sambil menunggu panggilannya.

Sang nenek itu pun duduk di sampingku, mengeluarkan lembaran kertas dan nomor panggilan yang diberikan pada semua pasien sebelum memasuki ruang tunggu. Entah bagaimana pada mulanya hingga terjadi sebuah obrolan panjang antara aku dan nenek tersebut. Dengan bahasa Jawa krama (halus), beliau mulai menceritakan tentang penyakitnya. Beliau datang ke puskesmas guna memeriksakan tekanan darahnya yang melonjak tinggi. Katanya, ia sudah mengantre di puskesmas kemarin malam, tetapi lantaran jarum jam terus bergeser dan namanya tak juga dipanggil, sang nenek memutuskan kembali di pagi harinya.

Nenek itu juga menceritakan tentang tempat tinggalnya, tentang masa muda di mana ia telah menikah di umur 14 tahun. Dari pernikahannya itu, ia memiliki tujuh orang anak. Malangnya, sang suami meninggalkan nenek itu saat anak bungsu mereka masih berusia satu tahun. Sejak itu, beliau berusaha menghidupi ketujuh anaknya dengan menjadi tukang masak dan cuci di sebuah rumah sakit di Surabaya. Tak hanya itu, nenek juga berusaha menambah pemasukan dengan berjualan di pasar.

“Selama 77 tahun, saya sudah pernah merasakan berbagai keadaan hidup. Bagaimana menjadi orang berkecukupan, bagaimana menjadi orang susah. Tapi ketika kesulitan datang menghampiri, tentunya saya tidak boleh tinggal diam. Saya harus berusaha menafkahi anak-anak saya.” sang nenek meneruskan pembicaraannya, masih dengan bahasa Jawa krama. Sambil terus mendengarkan, aku memperhatikan nenek tersebut. Wajah renta itu telah penuh dengan keriput. Tangannya sesekali gemetar ketika memegang nomor urut panggilannya. Namun begitu, ada ketabahan tersirat dari raut wajahnya. Ketabahan dalam menjalani asam garam kehidupan. Juga kekuatan untuk berjuang meneruskan hidup.

Serta merta, sang nenek berkata sambil menepuk pundakku,“Sabar saja. Apapun yang terjadi harus dilalui dengan ikhlas. Jalani, minta petunjuk Gusti Allah. Tunggulah, semua punya jalan yang terbaik masing-masing.” begitu kurang lebih beliau betutur. Aku tertegun sejenak, namun segera mengangguk. Perkataan nenek itu memang benar, namun yang membuatku terpaku adalah isi penuturan terakhirnya yang begitu merasuk ke pikiranku. Membuatku jadi merenung. Mungkin selama ini ada kalanya aku kurang sabar dalam menghadapi segala sesuatu. Mungkin terkadang aku masih mengerjakan sesuatu dengan setengah hati. Hingga aku lupa bahwa segala sesuatu di dunia memang butuh proses, butuh usaha untuk bisa memperbaiki keadaan di sekitar kita. Dan oleh nenek ini, aku seakan diingatkan bahwa hidup memang terkadang tak berjalan seperti apa yang kita inginkan, tapi bukan berarti kita tak bisa mengubahnya. Jalani saja semua dengan sabar dan ikhlas, maka Allah akan menunjukkan jalan terbaik untuk kita.


Pembicaraan dengan sang nenek terputus ketika namaku dipanggil ke dalam ruang periksa. Dan hingga pulang dari puskesmas, aku terus merenungkan perkataan nenek yang hingga kini tak kuketahui namanya tersebut. Mungkin pertemuanku dengan nenek tua itu telah direncanakan oleh Yang Di Atas untuk memberikan pesan tersendiri buatku. Nenek, terima kasih atas nasehatnya. Cerita hidupmu yang sarat makna takkan kulupakan. Semoga aku bisa menjalani hidup dengan lebih sabar dan ikhlas, sepertimu. 

-wintarsitowati-

Friday, September 4, 2015

Percayalah...

Jika keadaan adalah bagian dari ujian, biarlah semua mengalir apa adanya. Akan ada pejam mata yang lebih sering terjaga, akan ada mulut yang tak henti mengucap segenap doa. Biar Sang Ilahi yang menjadi penentu jalan cerita ini. Percayalah, tak ada satu pun doa yang tak didengar-Nya.

-wintarsitowati- 

Saturday, August 29, 2015

Kau, Aku, dan Hujan Kala Itu

Bukan hal yang biasa bagiku untuk mengacuhkan hujan, terlebih hujan yang bertepatan dengan tanggal di hari ini. Biasanya saat rintik hujan mulai terdengar, aku selalu menyempatkan diri untuk duduk di balkon rumah yang menjadi spot kesukaanku. Aku begitu betah duduk di sana, menikmati bunyi air yang berjatuhan beserta terpaan angin sejuk. Sesekali percik air mengenai wajahku. Rasanya sangat tenang, menyaksikan hujan turun sembari merenungi potongan cerita yang ada di sekitarku. Namun demi menyelesaikan pekerjaan menumpuk, terpaksa kesenangan itu harus kutunda.

Begitu semua tugas terselesaikan, aku menarik nafas lega, sembari menyandarkan kepala di sandaran kursi. Aku pun beranjak ke tempat tidur seraya meraih ponsel. Membukanya sembari mengistirahatkan segala kepenatan tubuh barang sejenak. Satu panggilan tak terjawab, tiga pesan masuk. Semuanya dikirim olehmu. Refleks, aku mencari kontakmu dan memencet simbol telepon.

“Halo...” laki-laki di seberang mengangkat telepon.

“Hai, tadi ada apa kamu hubungi aku?”

“Tidak apa-apa, hanya ingin mengobrol. Mengganggu kah?”

“Tidak. Tadi memang aku sedang menyelesaikan tulisan untuk majalah edisi bulan depan.”

“Oh iya? Deadline-nya kapan? Apa sudah selesai?”

“Sudah, deadline-nya besok, makanya tadi aku ngebut mengerjakan, hehe..”

Kudengar tawa kecil di seberang sana, disambung dengan desah lega.

“Berarti sekarang sudah bisa mengobrol kan?”

Ganti aku yang tertawa kecil. Beranjak dari tempat tidur menuju balkon.

“Tentu. Mengobrol santai kan bisa jadi cara yang tepat untuk melepas kejenuhan akan tugas seharian ini. Lagipula suasananya pas sekali, karena di sini sedang hujan."

"Wah kebetulan sekali. Di daerahku juga sedang hujan, lho. Apakah di sana hujannya dibarengi petir?"

"Untungnya tidak. Kamu kan tahu aku paling takut mendengar suara petir, hehehe.."

"Iya. Kalau mendengar suara petir kamu pasti akan langsung berjongkok sambil menutupi kedua telingamu, persis dengan yang kamu lakukan setahun lalu."

"Hahaha iya.. Kamu masih ingat rupanya dengan kejadian setahun lalu itu?"

"Mana mungkin aku lupa? Setahun lalu adalah pernikahan Nina, sahabatku yang juga merupakan teman masa kecilmu. Dan di situ pula kita pertama kali bertemu."

"Iya. Saat itu kita juga berfoto dalam satu frame yang sama, padahal kita belum kenal sebelumnya, tapi karena kita sama-sama dipanggil ke depan sebagai sahabat Nina, jadilah kita berfoto bersama dengan Nina dan keluarganya juga."

"Iya. Dan saat keluar dari gedung ternyata hujan deras sekali, hahaha." kamu pun tergelak, mengingat memori masa itu. Membawaku kembali pada perkenalan pertama kita.

"Hahaha, kamu kok semangat sekali tiap membahas soal hujan kala itu. Senang ya, melihatku ketakutan saat petir di luar menyambar-nyambar begitu?"

"Hei, bukannya aku mau bahagia di atas penderitaan orang atau bagaimana. Hanya saja aku merasa geli melihatmu saat itu. Ternyata di era modern seperti ini masih ada wanita dewasa yang takut mendengar petir." kau tertawa terpingkal-pingkal. Aku mendengus, pura-pura kesal.

"Dari situ pula perkenalan kita bermula. Ingat saat kau berusaha menenangkanku? Membawaku kembali masuk ke dalam gedung, menemaniku hingga hujan reda?"

"Mana mungkin aku lupa. Kau tampak menggigil ketakutan saat itu, siapa yang tak kasihan melihatmu. Terlebih saat kau ceritakan bahwa kau sudah takut petir sejak kecil." suara di seberang itu kembali terkekeh. Aku menikmati derai tawa itu.

"Ya, sejak kecil aku takut petir, tapi anehnya aku tak pernah takut ketika hujan turun, bahkan selalu suka. Dan ternyata kau pun menyukai hujan."

"Iya, ketika kecil, saat hujan turun, aku dan kawan-kawanku kerap bermain hujan, menghabiskan waktu di kebun belakang rumahku. Rasanya sangat menyenangkan. Kami bahkan masih bermain sepak bola kala hujan seperti itu, hal yang membuatku langsung dimarahi ibu begitu masuk ke dalam rumah karena lantai rumah jadi kotor akibat lumpur dan air yang menetes dari sekujur tubuhku." kau kembali tergelak. Aku ikut tertawa.

"Dari pembicaraan soal hujan itu, obrolan kita langsung menyebar ke mana-mana ya. Kita ternyata memiliki ketertarikan akan buku yang sama, film, juga musik yang sama."

"Kita bahkan baru tahu saat itu kalau kita pernah mengikuti program pertukaran pelajar yang sama, dan hanya lolos sampai tahap wawancara, hahaha.."

"Yah.. Kadang memang suatu hal yang tak disengaja dapat membawa warna baru dalam hidup kita. Siapa sangka hujan kala itu akan membawa kita sejauh ini? Tapi... bukankah tak ada yang serba kebetulan di dunia ini?"

"Ya, mungkin memang kita sengaja dipertemukan melalui pernikahan Nina, melalui obrolan soal hujan itu. Kalau tidak demikian, tak mungkin sampai saat ini kita masih bisa saling berkomunikasi, bahkan mengobrol lewat telepon, kan?"

"Hahaha tentu saja. Eh, ngomong-ngomong soal obrolan, apa yang mau kamu bicarakan saat tadi meneleponku?"

"Oh itu. Hmm, tidak apa-apa. Aku hanya terkenang pertemuan kita, persis setahun lalu di tanggal ini kan?"

"Iya, benar. Lantas kenapa?"

"Tidak apa-apa. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu ya. Kira-kira apa yang akan terjadi setahun berikutnya ya?" pertanyaanmu membuat mataku menerawang, memandangi langit mendung dan air hujan yang mengucur membasahi tanah.

"Hmm.. yang pasti aku masih akan suka pada hujan. Ya mungkin aku akan berusaha melawan ketakutanku akan petir. Di mana-mana hujan kan biasanya disertai petir. Aku tak dapat menikmati hujan dengan santai kan kalau harus menutupi telinga saat petir datang begitu, hahaha."

"Ya, lalu bagaimana dengan kita sendiri?"

"Hah? Bagaimana maksudnya?"

"Hmm.. Masih boleh kah aku mencarimu di tanggal yang sama, di musim hujan setahun nanti? Bolehkah aku menjadikanmu teman mengobrol dan berbagi segala hal?"

"...."

"Kamu masih di situ?"

"Iya, aku di sini. Hmm, kita tak akan tahu apa yang terjadi pada kita ke depannya, namun yang aku tahu, aku ingin bisa membagi semua hal yang ada denganmu, ingin bercerita banyak hal dan saling tertawa satu sama lain. Dan.. ya, kau tentu boleh mencariku di tanggal ini pada musim hujan mendatang, atau musim-musim lainnya. Karena saat kau datang kembali nanti, maka semuanya akan jelas sudah." aku kembali mendengar kelegaan dari seberang sana.

"Baiklah kalau begitu. Terima kasih sudah mau mengobrol denganku. Selalu menyenangkan menghabiskan waktu bicara denganmu."

"Sama-sama. Senang bisa mengobrol denganmu." ada jeda diam sejenak di antara kami, seakan satu sama lain begitu susah mengakhiri sambungan telepon.

"Well, selamat menikmati hujan."


"Iya, selamat hujan-hujanan juga ya."

-wintarsitowati-

Thursday, August 27, 2015

Setahun Lalu di Musim Hujan

Ada pandang saling beradu
Di musim hujan setahun lalu
Menelusuri jalan masing-masing yang penuh liku
Sibuk dengan asa yang telah bertumpuk

Ada dua raga saling berhadapan
Setahun lalu di musim hujan
Dipertemukan tanpa terencana
Saling berkutat dengan masing-masing kesibukan

Takdir ilahi membawa mereka kembali
Saling bertatap setahun kemudian di musim hujan
Dengan kondisi yang berbeda
Ada rindu yang bergemuruh di relung hati
Menautkan mata dan hati itu menjadi satu

Tak seorang pun tahu yang akan terjadi nanti
Di musim hujan setahun mendatang
Atau di musim-musim lain berikutnya
Tidak ada yang tahu
Akan bagaimana waktu membawa mereka

Namun selama itu...
Ada empat tangan menengadah ke atas
Ada dua mulut saling merapal doa
Memohon petunjuk dari Sang Khalik
Memanjatkan segenap harapan pada-Nya

Semoga Ia membersamai perjalanan ini
Memberikan segenap restunya
Menjaga mata, hati, dan pikiran masing-masing
Hingga nanti tiba waktunya,

Sang takdir akan memberi jawab

-wintarsitowati-

Friday, May 29, 2015

Jangan Pernah Menyerah Padaku, Bu

-Ini adalah sebuah tulisan lama yang saya temukan teronggok di sudut ruangan salah satu akun sosial media saya. Entah mengapa, rasanya ingin memposting kembali tulisan ini. Semoga bermanfaat.-         

          22 Maret 1992 adalah hari yang begitu bersejarah bagiku. Untuk pertama kalinya aku menjejakkan kaki ke dunia ini. Allah SWT meniupkan ruh kehidupan ke diriku melalui dirimu. Selama sembilan bulan engkau mengandungku, selama itu pula engkau harus menanggung kesakitan yang luar biasa. Namun itu semua tak membuatmu menyerah untuk melahirkanku, Bu. Kau beri aku semangat agar aku tetap bisa melihat indahnya dunia. Kau rawat aku dengan penuh kasih sayang sejak dalam kandungan. Kau ajarkan aku berbagai nilai kehidupan yang bermanfaat. Semua itu kau lakukan bukan untuk kepentingan dirimu sendiri Bu, namun semata-mata untuk bekal diriku di masa depan.
          Bu, ingatkah dulu ketika keluarga kita mengadakan acara adat Turun Tanah atau yang orang Jawa sebut Tedak Siten untukku? Rangkaian acara itu diadakan ketika anak telah berumur tujuh bulan. Menurut tradisi, acara ini diadakan agar kelak si anak bisa tumbuh lebih mandiri. Ada serangkaian acara yang dilakukan saat Tedak Siten, di antaranya prosesi selamatan yang menyajikan serangkaian kudapan tradisional, sayuran, dan ayam utuh, prosesi naik ke tangga tebu yang dihiasi kertas warna-warni, serta memasukkan anak ke dalam kurungan ayam yang di dalamnya juga diletakkan berbagai benda seperti cermin, buku dan alat tulis, uang, dan benda-benda lainnya yang nantinya akan dipilih salah satu oleh sang anak. Dulu ketika aku masih kecil, aku tak begitu memikirkan soal apa saja yang telah aku alami ketika aku masih bayi. Seiring berjalannya waktu, aku pun penasaran, benda apa yang kupilih ketika Tedak Siten dulu? Aku pun bertanya padamu, Bu, dan kau jawab,”Barang yang dulu kamu pilih adalah buku dan alat tulis.” Jawabanmu seakan mengembalikan ingatanku pada memori perjalanan masa kecilku.
          Masih segar di ingatanku akan kenangan masa kecilku dulu. Menjelang aku tidur, kau dan Bapak secara bergantian selalu menyempatkan diri membacakan buku cerita untukku. Hal itu selalu berulang setiap hari, sampai aku hafal isi cerita setiap buku. Bu, kau seakan tak memedulikan betapa repotnya dirimu. Ya, sebagai guru di sebuah SMK Negeri di Surabaya, pekerjaanmu memang cukup menyita waktu. Pagi-pagi benar kau harus bangun untuk menyiapkan segala keperluan Bapak, belum lagi mengurusku yang tatkala itu masih kecil. Masih belum mengerti apa-apa. Setelah itu kau berangkat mengajar hingga menjelang sore hari. Tidak berhenti sampai di situ, sepulang bekerja pun kau masih harus kembali mengurusku. Mungkin karena kelelahan setelah beraktifitas seharian, kau jadi mengantuk saat membacakan cerita untukku dan tanpa sadar membacanya dengan keliru. Jika sudah begitu, aku yang masih kecil langsung protes,”Lho Bu, ceritanya bukan seperti itu. Ceritanya itu…” dan jadilah aku yang mengoceh, menceritakan seluruh isi buku yang aku ingat benar. Bukannya kesal dengan ocehanku, kau malah tersenyum-senyum geli,”Eh iya ya, Ibu salah bacanya..” ujarmu sambil terkekeh-kekeh. Ah Bu, kau seakan tak mengenal lelah. Kini, kau memang sudah tak perlu membacakan cerita untukku, Bu. Namun, dari terbit fajar hingga petang hari pun kau masih sibuk dengan segala hal, sekalipun itu bukan untuk keperluanmu sendiri. Hal itu pun masih terus terjadi hingga kini aku dewasa.
            Bu, jika ditanya mengenai orang yang paling kuat, paling sabar dan paling ikhlas dalam menjalani segala hal, aku akan menjawab bahwa orang itu adalah dirimu. Apapun yang kau hadapi, kau tetap menjalaninya dengan tabah. Kau dengan tulus mengajarkanku mengenai segala hal yang tak kudapat di bangku sekolah, mengenai etika terhadap sesama, pentingnya berbagi dengan saudara, dan bagaimana tindak-tanduk yang harus dilakukan sewajarnya seorang perempuan. Saat transisi remaja, ada suatu masa di mana aku lebih mementingkan waktu bersama teman-temanku daripada bersama keluarga. Hal itu membuatku lupa waktu. Acap kali aku pulang terlalu malam ke rumah, tak memedulikan nasihatmu. Hingga suatu hari aku jatuh sakit. Di kala sakit itu, aku teringat segala perkataanmu, segala wejanganmu,”Jangan pulang terlalu malam. Angin malam itu tidak bagus untuk kesehatan.” atau,”Semakin malam, kondisi jalanan akan semakin sepi. Kurang aman jika kamu pulang malam seperti itu terus menerus.” Ada rasa penyesalan dalam hatiku karena tak mengindahkan segala nasihatmu, Bu. Namun bagaimanapun, kau tetap merawatku dengan setulus hati hingga aku benar-benar sembuh. Aku pun menyadari bahwa semua yang kau lakukan semata-mata hanya untuk kepentinganku sendiri.
            Pernah di kala aku resah, kau tenangkan aku dengan tutur katamu,”Tetap lah mohon petunjuk pada Allah SWT. Jangan panik. Ibu selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu.” Seketika itu juga kegelisahanku lenyap entah ke mana. Ibu, kelak akan tiba waktunya ada seorang laki-laki yang datang padamu dan Bapak untuk meminangku, meminta izin darimu dan Bapak untuk menjadikanku pasangan hidupnya. Walau begitu, aku ingin tetap bisa menjalankan tugasku sebagai anakmu, Bu. Aku merasa hingga kini aku belum mampu memberi yang terbaik untukmu, membanggakanmu dan Bapak. Aku belum bisa dikatakan sebagai anak yang berbakti pada orangtuanya. Kadang aku menangis sendiri ketika mengingat bahwa selama ini aku telah begitu banyak menyusahkanmu, membuatmu sedih. Namun aku akan tetap berusaha untuk menjadi anak yang lebih baik, Bu. Aku ingin menjadi anak yang berbakti padamu dan Bapak. 
         Bu, begitu banyak hal yang telah kau berikan padaku, namun tak secuil pun aku mampu membalas kasih sayangmu yang begitu besar padaku. Terima kasih karena telah menjadi Ibu, pendengar yang baik, pelipur lara, dan guru yang begitu tulus untukku. Maaf jika kadang kita terlibat dalam adu mulut, namun percayalah, Bu, dalam hati aku begitu menyayangimu. Terima kasih atas segala perhatian yang kaucurahkan. Jangan pernah menyerah padaku ya, Bu.



    Yang Menyayangi dan Menghormatimu,  


Winta Hari Arsitowati
                                                                               

Saturday, March 21, 2015

Elmira Oh Elmira



“Selamat pagi!” suara riang itu membangunkanku dari tidur. Tampak Elmira dengan wajah lucunya, sudah dalam keadaan rapi dalam balutan seragam sekolah. Belum puas, ia kembali berseru kencang di telingaku,”Ken, ayo bangun! Matahari sudah tinggi!” Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Kini El terlihat sibuk membangunkan teman-temanku yang lain.“Barbie, ayo bangun, hari sudah siang. Hei Paddington, jangan tidur lagi. Mickey, Minnie, Pooh, kenapa kalian masih mendengkur? Ayo semua, sudah saatnya bangun!”

Begitulah yang terjadi setiap pagi di kamar El. Ia selalu bangun lebih pagi dan membangunkan kami semua dengan penuh semangat. El adalah seorang gadis kecil berumur sepuluh tahun. Wajahnya lucu dan menggemaskan, dengan pembawaannya yang selalu ceria. El menemukanku di toko mainan di sebuah pusat perbelanjaan kota, dua tahun yang lalu. Pertama kali melihatnya, aku langsung terkesima dengan senyum dan mata kekanak-kanakannya. Ia memandangiku dengan takjub, seakan menemukan sesuatu yang begitu istimewa. El pun langsung membawaku ke hadapan orangtuanya.

”Ayah, Bunda, lihat! Bolehkah El ambil yang ini?” ujarnya memohon pada orang tuanya. Keduanya berpandangan satu sama lain, sementara si kecil El masih saja merajuk,”Boleh ya Yah.. Boleh ya Bun..”

Orang tua El tersenyum geli, dan sang ayah pun berkata,”Tentu boleh, El sayang. Lagipula hari ini kan ulang tahun El yang kedelapan, jadi El boleh memilih mainan apa saja yang El suka.” Ujar ayahnya lembut. Terlihat mata si kecil berbinar-binar. Sambil terus mendekapku, ia melonjak kegirangan.

”Terima kasih Ayah. Terima kasih Bunda.” serunya bahagia,”Tapi El hanya ingin boneka Ken ini saja kok Yah, Bun.”

“Lho kenapa memangnya, El? Apa tidak ada boneka lain yang El inginkan?” tanya bundanya sambil membelai rambut El. Yang ditanya hanya menggelengkan kepala,”El sudah punya cukup banyak boneka dan mainan di rumah, Bun. Tahun lalu El mendapat hadiah boneka Barbie dan rumah mainannya dari Ayah dan Bunda. El sangat senang karena akhirnya El mendapatkan mainan yang selama ini El inginkan. Namun El kasihan pada Barbie karena dia tak mempunyai teman sesama boneka manusia, sementara di kamar El hanya ada boneka-boneka hewan. Karena itu El hanya ingin boneka Ken ini ya Yah, Bun.” saat itu aku tersenyum melihat kepolosan dan tingkah lucu El. Aku pun bersyukur karena di antara boneka manusia lain yang dijual di sana, El memilihku sebagai temannya.

Sejak itu aku tinggal di rumah El. Setiap pulang sekolah atau saat senggang, El selalu mengajak boneka-bonekanya bermain, termasuk aku. Ia menyayangi semua mainannya dan memperlakukan kami dengan baik. Hal ini membuat kami sayang pada El. Namun, entah mengapa aku merasa bahwa El menaruh perhatian spesial padaku. El selalu membawaku kemana pun dia pergi. Ia selalu mendekapku saat tidur dan membangunkanku terlebih dulu sebelum mulai membangunkan teman-temanku yang lain. Suatu kali kami sedang bermain bersama Barbie, Pooh, dan boneka lainnya, El berpura-pura seakan Barbie adalah putri raja yang cantik, sementara aku adalah pangeran tampan yang baik hati. Setelah puas bermain, El menghempaskan tubuhnya di karpet, dikelilingi kami, para boneka. Tiba-tiba El meraihku dan menatapku dalam-dalam.

”Kelak, aku juga ingin seperti kisah di dongeng-dongeng. Ada pangeran baik dan tampan yang selalu menjagaku, menjadi seseorang yang istimewa di hatiku.” ujarnya sambil memelukku. Saat itu aku merasa pipiku menghangat. Dan aku menyadari satu hal: Aku jatuh hati pada gadis cilik ini. Dan perasaan itu tetap terjaga hingga kini.

***

“Kau sudah gila ya, Ken?” Barbie setengah berteriak mendengar perkataanku. Aku mendesis sambil meletakkan telunjukku di depan mulut, takut boneka yang lain akan mendengarnya. Hari sudah malam, seperti layaknya manusia, kami para boneka juga membutuhkan waktu beristirahat. Namun malam ini mataku tak dapat terpejam. Maka aku mengendap-endap dari pelukan El, membangunkan Barbie, sahabatku. Sudah setahun aku di sini, seiring waktu itulah perasaanku terhadap El terus tumbuh. Tetapi tidak satu pun teman-temanku yang mengetahui soal perasaanku pada gadis cilik itu. Ada perasaan berkecamuk, aku butuh teman bicara, seseorang yang bisa mendengar ceritaku. Untuk itu aku memutuskan untuk menceritakan semuanya pada Barbie, yang sudah lebih dulu tinggal bersama El. Tak kusangka reaksinya akan begitu.

“Kau tahu kan Ken, dunia kita dan El sangat berbeda. El adalah manusia, pemilik kita, Ken. Sementara kita hanyalah boneka, mainan! El memang lucu, cantik dan menggemaskan. Tapi tetap saja kita tak boleh berlebihan sayang padanya, Ken!” sergah Barbie. Ucapannya merobek perasaanku.

“Tapi kenapa, Barbie? Karena kita tidak bisa hidup saat berada di depan mereka? Karena ukuran tubuh kita lebih kecil dari mereka? El memperlakukan kita seperti halnya ia berinteraksi dengan manusia, Barbie. Apakah kau tak melihatnya?” tukasku,berusaha meyakinkan Barbie.

“Sadarlah, Ken. El itu masih sepuluh tahun. Seperti anak gadis pada umumnya sudah sewajarnya ia bermain bersama kita, seolah kita ini hidup. Ia memang menjaga kita dengan penuh kasih, tapi kau jangan lupa Ken, El akan tumbuh dewasa. Cepat atau lambat dia akan melupakan kita, Ken.” perkataan Barbie membuatku tercekat.

“Tidak, Barbie. El adalah gadis yang baik. Selayaknya manusia El pasti akan bertambah besar, namun dalam hati aku yakin ia takkan meninggalkan kita, ia takkan meninggalkanku, Barbie. Bahkan jika bisa, aku bersedia melakukan apa pun agar aku bisa hidup di depannya dan mengutarakan perasaan ini padanya.”

“Kau benar-benar sudah kehilangan akal sehat, Ken. Kita para mainan tak mungkin bisa berinteraksi secara langsung dengan manusia. Mereka pasti ketakutan jika melihat kita serta merta hidup dan berbicara pada mereka.” kulihat sahabatku itu menghela nafas. Ia hendak berlalu, kembali tidur, namun sebelum itu, ia menepuk pundakku,”Kuharap kau segera sadar Ken, sebelum kau terlalu tersakiti..”

***

Tak terasa, kini El sudah berusia empat belas tahun. Ia tumbuh menjadi remaja yang pintar dan semakin cantik. Ia memang sudah semakin jarang bermain dengan kami, namun ia masih menempatkan kami di tempat tidurnya. Kadang ia memeluk Pooh, Mickey, atau boneka hewan lainnya saat tidur. Namun ia sudah tak pernah lagi menoleh ke arahku. Ia tak pernah lagi mendekapku erat, tak pernah lagi berbicara denganku seperti dulu. Ada perasaan sedih di dalam hatiku. Kemana perginya El yang dulu? El kecil yang kemana-mana selalu membawaku serta? Sampai setiap orang begitu hafal, di mana ada Elmira, di situ ada Ken. Mengapa kini El tak pernah bermain denganku walau hanya sebentar saja? Ada kerinduan yang menganga begitu lebar dalam hatiku.

***

Waktu terus berlalu. Tahun terus berganti. Hari itu bertepatan dengan ulang tahun El yang ke-17, di bulan Februari. Bulan yang kata orang merupakan bulan kasih sayang. Tak seperti biasanya, begitu banyak orang berdatangan ke rumah. Menurut Barbie, bagi manusia, usia tujuh belas tahun dianggap sebagai babak baru dalam kehidupan mereka. Manusia yang telah menapaki umur tujuh belas tahun dianggap telah dewasa, mulai bisa menentukan pilihan hidupnya sendiri.

Diam-diam, kami para mainan mengintip hiruk-pikuk yang terjadi di ruang tengah keluarga El. Tak hanya sanak saudara, beberapa orang yang belum pernah kami kenal pun turut meramaikan suasana. Salah satu di antaranya adalah seorang anak lelaki berbadan tinggi tegap dengan penampilan kasual yang modis, yang ditengarai sebagai teman sekolah El. Sejak pertama ia muncul, ada rona merah bercampur kebahagiaan di wajah El, membuat hatiku panas. Apakah ia.. ah, tak mungkin. Pasti ini hanya perasaanku saja.

Acara pun berlangsung dengan meriah hingga tiba pada puncaknya, acara tiup lilin. Semua orang menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk El, bahkan kami para mainan diam-diam bernyanyi dari dalam kamar. Bagaimana pun El adalah sosok gadis yang menyenangkan, meskipun ia sudah semakin jarang menyentuh kami.

El meniup lilin di kue tart-nya, diiringi tepuk tangan dari semua orang di ruang tengah. Tibalah saat pemotongan kue yang akan diberikan pada orang-orang spesial di hati El. Potongan pertama El berikan pada bundanya, dibarengi dengan pelukan dan kecupan kasih sayang di kedua pipi El. Potongan kue kedua diberikan pada ayah El, bersamaan dengan El mencium tangan sang ayah dengan wajah haru dan bahagia.

“Dan potongan kue ketiga El berikan pada..” Aku berdebar-debar. Siapa kah yang akan mendapat potongan kue ketiga? Apakah El masih mengingatku?

“Adrian, potongan kue ketiga ini untuk kamu.” suara El bagai petir menyambar telingaku. Tampak anak lelaki bertubuh tegap tadi maju dan tersenyum ke arah El. Yang berulang tahun tersipu malu sambil menyerahkan kuenya. ”Ayah, Bunda, kenalkan, ini Adrian, teman sekolah El. El pernah cerita kan kalau El mau mengenalkan orang yang spesial di ulang tahun El yang ke-17 ini? Adrian lah orang itu, Yah, Bun.” ujar El, memperkenalkan lelaki itu di hadapan orang tuanya. Acara ulang tahun pun berlanjut. Aku terduduk lemas di kamar El. Hancur sudah harapanku untuk dapat menjadi pangeran impian El. Kini ia telah memiliki pangeran yang datang dari dunia yang sama dengannya. Barbie yang melihatku begitu terpukul berusaha menghiburku. Di saat aku sedang bersedih, terdengar sebuah suara melengking dari ruang tengah.

“Kak El, boleh Meta bermain dengan boneka-boneka Kakak?” Meta, sepupu El yang terkecil berteriak sambil berjalan menuju kamar El.

“Tentu boleh Meta sayang, mainlah dengan boneka apa saja yang Meta suka.” ujar El yang masih sibuk dengan teman-temannya. Meta kecil berlonjak girang, dan memasuki kamar El. Begitu ia melihat kami, para mainan, ia begitu takjub. Serta merta ia meraih tubuhku, dan membawaku ke hadapan El.

“Kak El, boneka ini tampan sekali. Bolehkah yang ini menjadi milik Meta?” ucapan Meta membuatku tercekat dalam hati. Oh Tuhan, aku tidak ingin berpisah dari El. Sekalipun ia tak pernah bermain denganku lagi, sekalipun ia telah memiliki teman spesial, aku tak ingin jauh darinya. Biarlah aku hanya menjadi boneka biasa asalkan aku bisa tetap berada di sisi Elmira.

El menatapku dengan seksama. Ia terdiam sejenak, seperti menimbang-nimbang. Sesaat kemudian ia berkata,”Tentu boleh Meta. Ambillah boneka ini. Kak El sudah tidak memakai boneka ini kok.” ujarnya sambil tersenyum pada Meta. Ucapan itu merontokkan hatiku. El.. Elmira.. Mengapa begitu mudah kau melepaskanku? Tidakkah kau mengingat masa itu, saat kita sering bermain bersama? Saat aku menjadi teman yang kau bawa kemana saja? Aku menyayangimu lebih dari rasa sayang Adrian kepadamu, El. Elmira oh Elmira.. Ah, andai kau tahu El.. 

*Cerita ini telah dibukukan dalam buku 2 antologi Kasih Tak Sampai oleh NulisBuku.com

Friday, March 6, 2015

Nalini



Matahari mulai mengintip malu-malu, memancarkan sinar lembutnya melalui jendela. Aku pun terjaga. Sejenak aku menguap dan meregangkan otot-otot tubuhku. Rasanya tidak ingin bangun dari tidurku semalam, mengingat mimpiku yang begitu indah.

  “Selamat pagi, Mas Dudi.”sebuah suara lembut seketika mengusir rasa kantukku entah kemana. Aku menoleh ke arah suara itu. Tampak gadisku berdiri dengan anggun di dekat jendela, membuatku bersemangat untuk memulai pagi ini. Ah, seperti biasa dia selalu bangun lebih pagi dari aku, menungguiku yang masih tertidur lelap, dan menyambutku dengan senyumannya yang manis.

“Selamat pagi, Sayang.. Kamu pasti sudah bangun sedari tadi ya?”ujarku, beringsut dari tempat tidur dan mendekatinya. Mengecup mesra keningnya dan membelai lembut rambutnya. Yang ditanya hanya tersenyum. Aku terpukau melihatnya.

“Kamu tahu, Nalini? Semalam aku mimpi bahwa kita berdua menikah. Aku bahagia sekali. Kamu berdiri di sampingku dengan gaun pengantin putih dan tampak begitu cantik, Sayang..”Aku memegang erat tangannya,”Tidakkah itu mimpi yang indah, Sayang? Pasti lebih indah jika mimpi itu jadi kenyataan..”

Dia masih saja tersenyum, memandangku dengan pandangan penuh cinta,“Mas bukannya hari ini ada janji dengan Ibu Mas jam sepuluh ya? Lalu kenapa Mas tidak segera mandi?” dia mengingatkan. Aku menepuk dahiku. Oh ya, aku baru ingat kalau aku sudah janji mau mengunjungi Ibuku hari ini. Kemarin Ibu menelepon, katanya sudah rindu sekali padaku. Di satu sisi aku merasa Ibu agak berlebihan. Aku baru saja pindah ke rumah ini sebulan yang lalu. Rumah di pinggir kota, yang  kubeli dari hasil kerja kerasku sebagai pematung. Aku tak pernah menyangka pekerjaan yang berawal dari hobi ini akan mengantarkanku pada kesuksesan. Mengingat bahwa selama ini Ibu selalu menentang keinginanku sejak kecil untuk menjadi pematung.

***

“Tidak usah macam-macam, Dud. Buat apa kamu mengikuti jejak almarhum Bapakmu? Ibu akui, jiwa seni dan imajinasi Bapakmu memang hebat, ia bisa mencurahkan seluruh waktunya demi membuat sebuah patung. Tapi kamu lihat Dud, apa pekerjaan Bapakmu bisa mencukupi hidup kita? Tidak Dudi. Kamu ingat kan, Bapakmu meninggal karena penyakit paru-paru, dan saat itu kita tidak punya cukup uang untuk membiayai operasinya. Ibu tidak mau setelah dewasa nanti kamu hidup menderita lagi dalam kemiskinan, Dudi. Ibu tidak sanggup harus kehilangan kamu setelah kehilangan Bapakmu.”

Masih terngiang kata-kata Ibu saat aku masih berusia sepuluh tahun dan mengutarakan niatku untuk menjadi pematung seperti Bapak. Ya, Bapakku memang pematung yang hebat. Sejak kecil aku senang mengamati Bapakku saat beliau sedang asyik dengan pekerjaannya. Melihatku tertarik pada patung-patung buatannya, Bapak tentunya gembira karena akan ada yang meneruskan profesinya.

“Lihat patung-patung buatan Bapak, Dud. Mereka seperti hidup ya? Itu karena Bapak mengerjakannya dengan sepenuh hati. Saat Bapak mengerjakan sebuah patung, bapak seakan meniupkan ruh pada patung tersebut, maka patung itu tampak  bernyawa. Jika kamu memang tertarik pada seni mematung, tekunilah hal itu Dud. Teruslah berlatih membuat patung. Karena segala sesuatu yang ditekuni dengan sungguh-sungguh akan membuat diri kita memiliki nilai yang lebih dari orang lain.”

Itulah pesan Bapak yang diutarakan tiga bulan sebelum beliau meninggal. Aku tak menyalahkan Ibu yang selalu melarangku untuk mewujudkan cita-citaku sebagai pematung. Pasti Ibu sangat terpukul dengan kepergian Bapak dan tak ingin kehilangan untuk kedua kalinya. Ibu juga tak ingin aku nantinya harus melalui masa-masa sulit yang sama dengan masa kanak-kanakku. Memang, Bapak tidak bisa menjanjikan banyak uang untuk kami. Tapi aku tak dapat membohongi diri bahwa aku sangat tertarik terhadap seni mematung. Darah seni Bapak mengalir deras di tubuhku dan aku merasa bahwa hanya dengan mematung aku mendapatkan kepuasan tersendiri dalam hidup.

Maka aku pun berusaha keras. Diam-diam sejak aku berusia tujuh belas tahun, aku membuat patung tanpa sepengetahuan Ibu. Patung-patung itu sebagian aku tawarkan di Pasar Seni. Ada pula yang kutitipkan di galeri-galeri seni. Ternyata salah seorang pemilik galeri tertarik pada patung-patungku. Ia pun membeli sebuah patung itu dan menawarkan untuk mengikutkan patung- patungku yang lain dalam sebuah pameran bersama pematung pemula lainnya. Tentu saja aku tak dapat menolak. Dari situlah sedikit demi sedikit aku berusaha membuktikan pada Ibu bahwa profesiku sebagai pematung tidak seburuk yang Ibu bayangkan.

“Ibu boleh saja sedih karena kepergian Bapak, tapi tolong jangan halangi saya untuk menekuni pekerjaan ini, Bu. Ini hidup saya, dan saya berjanji, saya akan membuat Ibu bahagia.” Ujarku saat pertama kali memberi tahu Ibu bahwa aku mengikuti sebuah pameran patung. Akhirnya Ibu dapat memberikan restu penuh pada profesiku ini. Aku pun tak ingin mengecewakan Ibu. Tahun lalu, aku telah berhasil merenovasi rumah tua kami menjadi sebuah rumah yang indah, dilengkapi dengan taman yang asri dan kolam ikan di halamannya. Hal ini sesuai dengan keinginan Ibu, yang memang hobi merawat tanaman. Usaha mematungku juga makin berkembang. Tak jarang aku menerima pesanan dari luar negeri. Baru-baru ini aku juga berhasil menyelenggarakan pameran tunggal.

Puncaknya, aku membeli sebuah rumah di pinggiran kota ini. Rumah yang tidak terlalu besar, namun cukup untuk kutinggali sendiri. Lokasinya yang terletak dekat hutan dan sungai juga sangat nyaman dan jauh dari keramaian, sehingga memudahkanku mendapat inspirasi untuk mematung. Dengan alasan inspirasi itu lah aku memutuskan untuk pindah dari rumah Ibu dan tinggal sendiri, dengan perjanjian bahwa aku akan rutin mengunjungi Ibu seminggu sekali.

Ibu sendiri menyanggupi hal itu. Kini Ibu bisa tersenyum bangga melihat putranya telah menjadi pematung yang sukses. Semua tampak sempurna bagi Ibu. Semua. Kecuali satu. Ibu ingin melihatku bersanding di pelaminan.

***

“Kamu tidak boleh mengelak lagi, Dudi. Sudah berapa kali kamu menolak bertemu dengan gadis yang ingin Ibu jodohkan dengan kamu?”Kedatanganku kali itu kembali disambut Ibu dengan kalimat serangan itu. Kenapa Ibu tidak membiarkanku beristirahat sebentar saja? Bagaimana pun juga aku rindu dengan suasana rumah ini. Rumah yang telah kuhuni selama dua puluh sembilan tahun, dan baru saja kutinggal selama satu bulan. Begitu banyak kenangan yang kudapat di rumah ini. Ibu melahirkanku di sini. Di sini pula aku pertama kali mengenal seni mematung melalui Bapak. Ah Bapak, andai saja kau bisa menyaksikan bahwa anakmu telah mengikuti jejakmu dan menjadi orang sukses...

“Dudi, Ibumu ini sudah bertambah tua. Kamu pun sudah cukup umur untuk menikah. Ibu pun tahu bahwa tak sedikit gadis yang tertarik padamu. Lantas apa lagi yang kamu tunggu, Nak?”

Lagi-lagi pertanyaan itu yang terlontar dari mulut Ibu. Aku merebahkan tubuhku ke kursi antik kesayangan Bapak. Sedetik kemudian aku tersenyum.

 “Ibu tidak perlu khawatir, saya sudah punya calon yang akan saya perkenalkan pada Ibu. Saya yakin Ibu tidak akan kecewa dengan pilihan saya”

“Benar, Dud? Siapa dia? Kenapa kamu tidak pernah cerita pada Ibu?”

Aku tersenyum penuh arti.”Namanya Nalini, Bu.”

“Nalini? Wah,namanya bagus sekali, seperti pemain film India lawas yang cantik itu..”decak Ibu kagum,”Apa dia juga cantik, Dud?”

“Tentu, Bu. Dia memang cantik, secantik namanya.. Rambutnya panjang dan tergerai indah. Kulitnya kuning langsat, dengan mata yang berkilau bagai permata.. Bu, dia adalah hal terindah yang pernah saya temui..”desahku. Ibuku tersenyum-senyum,memperhatikanku.

“Tampaknya kau benar-benar sedang kasmaran, Nak. Sejak kapan kau mengenalnya?”

“Sebenarnya kami sudah lama saling kenal Bu, namun kami baru intens berhubungan beberapa bulain yang lalu. Dia adalah cinta pertama saya, Bu. Entah kenapa begitu melihatnya saya langsung jatuh cinta. Dia adalah sumber inspirasi dan penyemangat saya untuk berkarya. Ketika tahu bahwa perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan, rasanya gembira sekali..”Mataku menerawang saat membicarakan tentang gadis yang kucintai.

“Kalau begitu segera pertemukan Ibu dengan gadismu itu ya. Ibu ingin mengenalnya lebih jauh, sekaligus membicarakan pernikahan kalian.”tukas Ibu sambil mengedipkan mata. Ah, Ibu. Kalau saja Ibu tahu bahwa aku sendiri sudah tak sabar untuk membawa gadisku kemari.

***

“Benarkah, Mas? Kamu mau mengajakku menemui Ibumu?”ujarnya setengah menjerit kegirangan.

Aku menatap lembut gadisku itu,”Iya, Sayang.. Aku sudah cerita pada Ibuku bahwa aku sudah punya calon istri, yaitu kamu. Ibuku juga senang dan sudah tidak sabar untuk bertemu denganmu. Kamu mau kan, Sayang?”Aku bisa melihat bahwa gadisku itu sedikit gugup.

“Iya Mas, tentu aku mau... tapi... bagaimana jika nanti setelah bertemu denganku, Ibu Mas Dudi tidak menyukaiku?”dia mulai mengutarakan kegelisahannya. Aku tersenyum. Kutatap matanya lekat-lekat sembari membelai wajahnya.

“Kamu tidak perlu risau, Nalini sayang. Ibuku pasti setuju dengan pilihanku. Jikalau nanti hal yang terburuk pun terjadi, aku akan tetap mencintaimu,”ujarku seraya memeluknya,”Kita pasti akan bersatu, Nalini. Aku janji...”

***

Seminggu setelah pembicaraan itu, aku mengajak Nalini menemui Ibuku di rumah. Sesampainya di rumah, aku meminta Nalini untuk menunggu di mobil dulu. Aku ingin memberi kejutan pada Ibuku tersayang. Aku  masuk ke rumah dengan menggunakan kunci duplikat dan segera disambut Ibu dengan wajah sumringah.

“Mana dia? Apakah calon menantuku datang juga, Dud?”tanya Ibu tak sabar sembari membawaku ke ruang tengah.

“Iya, Bu. Itu dia sedang menunggu di mobil, kami sengaja ingin memberi kejutan pada Ibu”

“Oya? Ibu sudah tak sabar ingin bertemu. Apa dia benar-benar cantik, Dud?”

“Dia sempurna. Ibu tidak usah khawatir dengan gadis pilihan saya.. Ah, saya benar-benar mencintainya, Bu.”

“Lalu tunggu apa lagi? Lekas bawa dia kemari saja Dud. Kalian tunggu sebentar di sini ya, Ibu siapkan kue dan minuman dulu.”ujar Ibu sambil berlalu ke dapur, masih dengan senyum lebar di wajahnya. Belum pernah kulihat Ibu begitu bahagia. Di satu sisi aku pun bahagia. Akhirnya aku bisa mengenalkan gadis yang kucintai. Gadis pilihanku. Sebentar lagi kami akan bersatu. Maka aku segera menuju mobil dan mengajak Nalini untuk masuk ke dalam rumah. Kami pun berjalan bersama menuju ruang tamu. Saat itu pula Ibu datang sambil membawa senampan kue dan minuman.

“Ibu, perkenalkan.. Ini Nalini, gadis yang saya cintai..”ujarku memperkenalkan gadisku pada Ibu. Saat itu lah Ibu memekik kaget hingga nampan yang dibawanya terjatuh. Kue-kue pun jatuh berhamburan dan gelas-gelas pun pecah berantakan, memercikkan air di sana-sini. Aku pun terperangah pada sikap Ibuku.

“Bu, ada apa? Kenapa Ibu sepertinya kaget dan gelisah begitu?”

“Dud! Dudi! Kamu bercanda kan, Nak? Bukan ini kan Nak yang kamu maksud gadis pilihanmu?”

“Ibu, dia memang Nalini. Coba lihat baik-baik. Nalini gadis yang cantik sekali kan? Dia adalah gadis yang saya cintai, Bu. Saya ingin menikahinya, Bu. Kami saling mencintai.”

“Kamu jangan bercanda Dud! Kamu tak bisa menikah dengan dia, Anakku!” Kulihat Ibuku sesenggukan. Aneh, mengapa Ibu tidak terlihat senang dengan semua ini?

“Kenapa, Bu? Saya mencintai Nalini dengan sepenuh hati! Saya ingin membahagiakan Ibu, namun mengapa Ibu malah melarang saya menikahinya? Bukankah Ibu ingin melihat saya menikah dengan gadis pilihan saya?”aku mulai kehilangan kesabaran. Bagaimana pun juga aku tak ingin kehilangan Naliniku.

“Dudi.. sadarlah, Nak.. Kamu tidak bisa menikahi Nalini! Sampai kapanpun juga tidak akan bisa!”seru Ibu dibarengi sedu sedannya.

“Tapi kenapa, Bu? Adakah yang salah dari Nalini sehingga saya tak dapat menikahinya? Dia adalah gadis paling sempurna yang pernah saya temui, Bu. Dan apa pun yang terjadi saya akan tetap menikahi Nalini!”aku berteriak, tak rela jika harus berpisah dengan Nalini.

“Dudi anakku, sadarlah, Nak.. Ibu tahu Nalini memang sempurna.. Namun kamu tetap tidak bisa menikahinya, Nak.. Lihatlah baik-baik, Nak.. Nalinimu ini adalah patung! Ibu mengerti kau mewarisi bakat mematung seperti ayahmu, tapi bukan berarti kamu harus mencintai patung secara berlebihan begini....”Ibu jatuh terduduk sambil menangis tersedu-sedu. Aku terperanjat. Tidak.. Ini tidak benar! Naliniku adalah sosok yang nyata! Nalini bukan patung! Dia gadisku! Gadis yang amat kucintai...

***

Wanita setengah baya itu memandangi putra satu-satunya dari balik jeruji jendela kamar di depannya. Hatinya teriris-iris melihat tingkah laku anak semata wayangnya tersebut. Ya, dia masih seperti yang dulu. Wajahnya tetap rupawan walau dengan penampilan berantakan dengan balutan seragam piama. Namun yang menyedihkan, dia masih saja berbicara dengan patung itu! Ya, patung seorang gadis yang dinamakannya Nalini. Patung yang dibuatnya dengan sepenuh hati dan dicintainya melebihi dirinya sendiri.

Ada penyesalan yang dirasakan wanita itu jika mengingat masa lalu. Andai saja dari awal ia mendukung keinginan anaknya untuk menjadi pematung, mungkin hal ini tak akan terjadi. Mungkin kewarasan putranya tersayang itu akan tetap terjaga. Benar, sejak kecil anaknya memang sudah menunjukkan minat dan bakatnya pada seni mematung. Hal yang persis sama dengan almarhum ayahnya, yang juga seorang pematung. Namun sayang, rasa cinta yang berlebihan pada dunia itu pula yang menghilangkan akal sehatnya. Terlebih lagi batinnya tertekan lantaran ibu yang seharusnya memberi semangat malah melarangnya untuk menekuni dunia yang ia senangi. Dalam kekalutan, ia berusaha membuktikan kemampuannya. Begitu cintanya dia dengan dunia itu sehingga ia mengerjakan patung dengan sepenuh jiwanya. Patung-patung itu nyaris sempurna dan diminati banyak orang.Dari tangannya pula terlahirlah Nalini, yang di matanya merupakan gadis sempurna dan menjadi pujaan hatinya. Nalini adalah satu-satunya patung ciptaannya yang tak diperjual-belikan.

“Apa dia selalu berbicara dengan patung itu setiap saat, Dok?”tanya wanita itu pada dokter yang sehari-hari memeriksa keadaan anaknya.

“Begitulah, Bu. Saya rasa hingga saat ini keadaan Dudi belum menunjukkan adanya kemajuan.”jawaban sang dokter  membuat wanita itu makin terluka,“Dudi menganggap bahwa patung itu benar-benar hidup, seorang gadis cantik bernama Nalini. Dia selalu berkata bahwa sampai kapan pun ia tidak akan mau berpisah dengan Nalini. Yang ada dipikirannya saat ini hanya Nalini dan Nalini.”

Wanita itu terhenyak. Ia menelan ludah,kemudian bertanya,”Apakah mungkin Dudi masih bisa kembali seperti sedia kala, Dok?”

Dokter itu menghela nafas panjang dan melepas kacamatanya,”Kami akan berusaha untuk melakukan yang terbaik, Bu. Kami akan coba untuk melakukan pendekatan lebih lanjut pada Dudi. Namun itu semua juga tergantung pada kondisi kejiwaannya. Ya, kita sama-sama berdoa saja untuk yang terbaik, Bu.”

Wanita setengah baya itu kembali melihat ke dalam kamar melalui jeruji jendela. Dilihatnya sang anak memeluk patung itu. Matanya terpejam, tampak begitu bahagia. Ya, lelaki itu amat bahagia. Keinginannya terwujud sudah untuk tetap bersama dengan Nalini, gadis yang amat sempurna baginya.
 

*Cerpen ini telah dimuat dalam buku antologi Proyek Menulis Love Never Fails, diterbitkan pada Maret 2014 oleh NulisBuku