What's new?

Friday, March 6, 2015

Nalini



Matahari mulai mengintip malu-malu, memancarkan sinar lembutnya melalui jendela. Aku pun terjaga. Sejenak aku menguap dan meregangkan otot-otot tubuhku. Rasanya tidak ingin bangun dari tidurku semalam, mengingat mimpiku yang begitu indah.

  “Selamat pagi, Mas Dudi.”sebuah suara lembut seketika mengusir rasa kantukku entah kemana. Aku menoleh ke arah suara itu. Tampak gadisku berdiri dengan anggun di dekat jendela, membuatku bersemangat untuk memulai pagi ini. Ah, seperti biasa dia selalu bangun lebih pagi dari aku, menungguiku yang masih tertidur lelap, dan menyambutku dengan senyumannya yang manis.

“Selamat pagi, Sayang.. Kamu pasti sudah bangun sedari tadi ya?”ujarku, beringsut dari tempat tidur dan mendekatinya. Mengecup mesra keningnya dan membelai lembut rambutnya. Yang ditanya hanya tersenyum. Aku terpukau melihatnya.

“Kamu tahu, Nalini? Semalam aku mimpi bahwa kita berdua menikah. Aku bahagia sekali. Kamu berdiri di sampingku dengan gaun pengantin putih dan tampak begitu cantik, Sayang..”Aku memegang erat tangannya,”Tidakkah itu mimpi yang indah, Sayang? Pasti lebih indah jika mimpi itu jadi kenyataan..”

Dia masih saja tersenyum, memandangku dengan pandangan penuh cinta,“Mas bukannya hari ini ada janji dengan Ibu Mas jam sepuluh ya? Lalu kenapa Mas tidak segera mandi?” dia mengingatkan. Aku menepuk dahiku. Oh ya, aku baru ingat kalau aku sudah janji mau mengunjungi Ibuku hari ini. Kemarin Ibu menelepon, katanya sudah rindu sekali padaku. Di satu sisi aku merasa Ibu agak berlebihan. Aku baru saja pindah ke rumah ini sebulan yang lalu. Rumah di pinggir kota, yang  kubeli dari hasil kerja kerasku sebagai pematung. Aku tak pernah menyangka pekerjaan yang berawal dari hobi ini akan mengantarkanku pada kesuksesan. Mengingat bahwa selama ini Ibu selalu menentang keinginanku sejak kecil untuk menjadi pematung.

***

“Tidak usah macam-macam, Dud. Buat apa kamu mengikuti jejak almarhum Bapakmu? Ibu akui, jiwa seni dan imajinasi Bapakmu memang hebat, ia bisa mencurahkan seluruh waktunya demi membuat sebuah patung. Tapi kamu lihat Dud, apa pekerjaan Bapakmu bisa mencukupi hidup kita? Tidak Dudi. Kamu ingat kan, Bapakmu meninggal karena penyakit paru-paru, dan saat itu kita tidak punya cukup uang untuk membiayai operasinya. Ibu tidak mau setelah dewasa nanti kamu hidup menderita lagi dalam kemiskinan, Dudi. Ibu tidak sanggup harus kehilangan kamu setelah kehilangan Bapakmu.”

Masih terngiang kata-kata Ibu saat aku masih berusia sepuluh tahun dan mengutarakan niatku untuk menjadi pematung seperti Bapak. Ya, Bapakku memang pematung yang hebat. Sejak kecil aku senang mengamati Bapakku saat beliau sedang asyik dengan pekerjaannya. Melihatku tertarik pada patung-patung buatannya, Bapak tentunya gembira karena akan ada yang meneruskan profesinya.

“Lihat patung-patung buatan Bapak, Dud. Mereka seperti hidup ya? Itu karena Bapak mengerjakannya dengan sepenuh hati. Saat Bapak mengerjakan sebuah patung, bapak seakan meniupkan ruh pada patung tersebut, maka patung itu tampak  bernyawa. Jika kamu memang tertarik pada seni mematung, tekunilah hal itu Dud. Teruslah berlatih membuat patung. Karena segala sesuatu yang ditekuni dengan sungguh-sungguh akan membuat diri kita memiliki nilai yang lebih dari orang lain.”

Itulah pesan Bapak yang diutarakan tiga bulan sebelum beliau meninggal. Aku tak menyalahkan Ibu yang selalu melarangku untuk mewujudkan cita-citaku sebagai pematung. Pasti Ibu sangat terpukul dengan kepergian Bapak dan tak ingin kehilangan untuk kedua kalinya. Ibu juga tak ingin aku nantinya harus melalui masa-masa sulit yang sama dengan masa kanak-kanakku. Memang, Bapak tidak bisa menjanjikan banyak uang untuk kami. Tapi aku tak dapat membohongi diri bahwa aku sangat tertarik terhadap seni mematung. Darah seni Bapak mengalir deras di tubuhku dan aku merasa bahwa hanya dengan mematung aku mendapatkan kepuasan tersendiri dalam hidup.

Maka aku pun berusaha keras. Diam-diam sejak aku berusia tujuh belas tahun, aku membuat patung tanpa sepengetahuan Ibu. Patung-patung itu sebagian aku tawarkan di Pasar Seni. Ada pula yang kutitipkan di galeri-galeri seni. Ternyata salah seorang pemilik galeri tertarik pada patung-patungku. Ia pun membeli sebuah patung itu dan menawarkan untuk mengikutkan patung- patungku yang lain dalam sebuah pameran bersama pematung pemula lainnya. Tentu saja aku tak dapat menolak. Dari situlah sedikit demi sedikit aku berusaha membuktikan pada Ibu bahwa profesiku sebagai pematung tidak seburuk yang Ibu bayangkan.

“Ibu boleh saja sedih karena kepergian Bapak, tapi tolong jangan halangi saya untuk menekuni pekerjaan ini, Bu. Ini hidup saya, dan saya berjanji, saya akan membuat Ibu bahagia.” Ujarku saat pertama kali memberi tahu Ibu bahwa aku mengikuti sebuah pameran patung. Akhirnya Ibu dapat memberikan restu penuh pada profesiku ini. Aku pun tak ingin mengecewakan Ibu. Tahun lalu, aku telah berhasil merenovasi rumah tua kami menjadi sebuah rumah yang indah, dilengkapi dengan taman yang asri dan kolam ikan di halamannya. Hal ini sesuai dengan keinginan Ibu, yang memang hobi merawat tanaman. Usaha mematungku juga makin berkembang. Tak jarang aku menerima pesanan dari luar negeri. Baru-baru ini aku juga berhasil menyelenggarakan pameran tunggal.

Puncaknya, aku membeli sebuah rumah di pinggiran kota ini. Rumah yang tidak terlalu besar, namun cukup untuk kutinggali sendiri. Lokasinya yang terletak dekat hutan dan sungai juga sangat nyaman dan jauh dari keramaian, sehingga memudahkanku mendapat inspirasi untuk mematung. Dengan alasan inspirasi itu lah aku memutuskan untuk pindah dari rumah Ibu dan tinggal sendiri, dengan perjanjian bahwa aku akan rutin mengunjungi Ibu seminggu sekali.

Ibu sendiri menyanggupi hal itu. Kini Ibu bisa tersenyum bangga melihat putranya telah menjadi pematung yang sukses. Semua tampak sempurna bagi Ibu. Semua. Kecuali satu. Ibu ingin melihatku bersanding di pelaminan.

***

“Kamu tidak boleh mengelak lagi, Dudi. Sudah berapa kali kamu menolak bertemu dengan gadis yang ingin Ibu jodohkan dengan kamu?”Kedatanganku kali itu kembali disambut Ibu dengan kalimat serangan itu. Kenapa Ibu tidak membiarkanku beristirahat sebentar saja? Bagaimana pun juga aku rindu dengan suasana rumah ini. Rumah yang telah kuhuni selama dua puluh sembilan tahun, dan baru saja kutinggal selama satu bulan. Begitu banyak kenangan yang kudapat di rumah ini. Ibu melahirkanku di sini. Di sini pula aku pertama kali mengenal seni mematung melalui Bapak. Ah Bapak, andai saja kau bisa menyaksikan bahwa anakmu telah mengikuti jejakmu dan menjadi orang sukses...

“Dudi, Ibumu ini sudah bertambah tua. Kamu pun sudah cukup umur untuk menikah. Ibu pun tahu bahwa tak sedikit gadis yang tertarik padamu. Lantas apa lagi yang kamu tunggu, Nak?”

Lagi-lagi pertanyaan itu yang terlontar dari mulut Ibu. Aku merebahkan tubuhku ke kursi antik kesayangan Bapak. Sedetik kemudian aku tersenyum.

 “Ibu tidak perlu khawatir, saya sudah punya calon yang akan saya perkenalkan pada Ibu. Saya yakin Ibu tidak akan kecewa dengan pilihan saya”

“Benar, Dud? Siapa dia? Kenapa kamu tidak pernah cerita pada Ibu?”

Aku tersenyum penuh arti.”Namanya Nalini, Bu.”

“Nalini? Wah,namanya bagus sekali, seperti pemain film India lawas yang cantik itu..”decak Ibu kagum,”Apa dia juga cantik, Dud?”

“Tentu, Bu. Dia memang cantik, secantik namanya.. Rambutnya panjang dan tergerai indah. Kulitnya kuning langsat, dengan mata yang berkilau bagai permata.. Bu, dia adalah hal terindah yang pernah saya temui..”desahku. Ibuku tersenyum-senyum,memperhatikanku.

“Tampaknya kau benar-benar sedang kasmaran, Nak. Sejak kapan kau mengenalnya?”

“Sebenarnya kami sudah lama saling kenal Bu, namun kami baru intens berhubungan beberapa bulain yang lalu. Dia adalah cinta pertama saya, Bu. Entah kenapa begitu melihatnya saya langsung jatuh cinta. Dia adalah sumber inspirasi dan penyemangat saya untuk berkarya. Ketika tahu bahwa perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan, rasanya gembira sekali..”Mataku menerawang saat membicarakan tentang gadis yang kucintai.

“Kalau begitu segera pertemukan Ibu dengan gadismu itu ya. Ibu ingin mengenalnya lebih jauh, sekaligus membicarakan pernikahan kalian.”tukas Ibu sambil mengedipkan mata. Ah, Ibu. Kalau saja Ibu tahu bahwa aku sendiri sudah tak sabar untuk membawa gadisku kemari.

***

“Benarkah, Mas? Kamu mau mengajakku menemui Ibumu?”ujarnya setengah menjerit kegirangan.

Aku menatap lembut gadisku itu,”Iya, Sayang.. Aku sudah cerita pada Ibuku bahwa aku sudah punya calon istri, yaitu kamu. Ibuku juga senang dan sudah tidak sabar untuk bertemu denganmu. Kamu mau kan, Sayang?”Aku bisa melihat bahwa gadisku itu sedikit gugup.

“Iya Mas, tentu aku mau... tapi... bagaimana jika nanti setelah bertemu denganku, Ibu Mas Dudi tidak menyukaiku?”dia mulai mengutarakan kegelisahannya. Aku tersenyum. Kutatap matanya lekat-lekat sembari membelai wajahnya.

“Kamu tidak perlu risau, Nalini sayang. Ibuku pasti setuju dengan pilihanku. Jikalau nanti hal yang terburuk pun terjadi, aku akan tetap mencintaimu,”ujarku seraya memeluknya,”Kita pasti akan bersatu, Nalini. Aku janji...”

***

Seminggu setelah pembicaraan itu, aku mengajak Nalini menemui Ibuku di rumah. Sesampainya di rumah, aku meminta Nalini untuk menunggu di mobil dulu. Aku ingin memberi kejutan pada Ibuku tersayang. Aku  masuk ke rumah dengan menggunakan kunci duplikat dan segera disambut Ibu dengan wajah sumringah.

“Mana dia? Apakah calon menantuku datang juga, Dud?”tanya Ibu tak sabar sembari membawaku ke ruang tengah.

“Iya, Bu. Itu dia sedang menunggu di mobil, kami sengaja ingin memberi kejutan pada Ibu”

“Oya? Ibu sudah tak sabar ingin bertemu. Apa dia benar-benar cantik, Dud?”

“Dia sempurna. Ibu tidak usah khawatir dengan gadis pilihan saya.. Ah, saya benar-benar mencintainya, Bu.”

“Lalu tunggu apa lagi? Lekas bawa dia kemari saja Dud. Kalian tunggu sebentar di sini ya, Ibu siapkan kue dan minuman dulu.”ujar Ibu sambil berlalu ke dapur, masih dengan senyum lebar di wajahnya. Belum pernah kulihat Ibu begitu bahagia. Di satu sisi aku pun bahagia. Akhirnya aku bisa mengenalkan gadis yang kucintai. Gadis pilihanku. Sebentar lagi kami akan bersatu. Maka aku segera menuju mobil dan mengajak Nalini untuk masuk ke dalam rumah. Kami pun berjalan bersama menuju ruang tamu. Saat itu pula Ibu datang sambil membawa senampan kue dan minuman.

“Ibu, perkenalkan.. Ini Nalini, gadis yang saya cintai..”ujarku memperkenalkan gadisku pada Ibu. Saat itu lah Ibu memekik kaget hingga nampan yang dibawanya terjatuh. Kue-kue pun jatuh berhamburan dan gelas-gelas pun pecah berantakan, memercikkan air di sana-sini. Aku pun terperangah pada sikap Ibuku.

“Bu, ada apa? Kenapa Ibu sepertinya kaget dan gelisah begitu?”

“Dud! Dudi! Kamu bercanda kan, Nak? Bukan ini kan Nak yang kamu maksud gadis pilihanmu?”

“Ibu, dia memang Nalini. Coba lihat baik-baik. Nalini gadis yang cantik sekali kan? Dia adalah gadis yang saya cintai, Bu. Saya ingin menikahinya, Bu. Kami saling mencintai.”

“Kamu jangan bercanda Dud! Kamu tak bisa menikah dengan dia, Anakku!” Kulihat Ibuku sesenggukan. Aneh, mengapa Ibu tidak terlihat senang dengan semua ini?

“Kenapa, Bu? Saya mencintai Nalini dengan sepenuh hati! Saya ingin membahagiakan Ibu, namun mengapa Ibu malah melarang saya menikahinya? Bukankah Ibu ingin melihat saya menikah dengan gadis pilihan saya?”aku mulai kehilangan kesabaran. Bagaimana pun juga aku tak ingin kehilangan Naliniku.

“Dudi.. sadarlah, Nak.. Kamu tidak bisa menikahi Nalini! Sampai kapanpun juga tidak akan bisa!”seru Ibu dibarengi sedu sedannya.

“Tapi kenapa, Bu? Adakah yang salah dari Nalini sehingga saya tak dapat menikahinya? Dia adalah gadis paling sempurna yang pernah saya temui, Bu. Dan apa pun yang terjadi saya akan tetap menikahi Nalini!”aku berteriak, tak rela jika harus berpisah dengan Nalini.

“Dudi anakku, sadarlah, Nak.. Ibu tahu Nalini memang sempurna.. Namun kamu tetap tidak bisa menikahinya, Nak.. Lihatlah baik-baik, Nak.. Nalinimu ini adalah patung! Ibu mengerti kau mewarisi bakat mematung seperti ayahmu, tapi bukan berarti kamu harus mencintai patung secara berlebihan begini....”Ibu jatuh terduduk sambil menangis tersedu-sedu. Aku terperanjat. Tidak.. Ini tidak benar! Naliniku adalah sosok yang nyata! Nalini bukan patung! Dia gadisku! Gadis yang amat kucintai...

***

Wanita setengah baya itu memandangi putra satu-satunya dari balik jeruji jendela kamar di depannya. Hatinya teriris-iris melihat tingkah laku anak semata wayangnya tersebut. Ya, dia masih seperti yang dulu. Wajahnya tetap rupawan walau dengan penampilan berantakan dengan balutan seragam piama. Namun yang menyedihkan, dia masih saja berbicara dengan patung itu! Ya, patung seorang gadis yang dinamakannya Nalini. Patung yang dibuatnya dengan sepenuh hati dan dicintainya melebihi dirinya sendiri.

Ada penyesalan yang dirasakan wanita itu jika mengingat masa lalu. Andai saja dari awal ia mendukung keinginan anaknya untuk menjadi pematung, mungkin hal ini tak akan terjadi. Mungkin kewarasan putranya tersayang itu akan tetap terjaga. Benar, sejak kecil anaknya memang sudah menunjukkan minat dan bakatnya pada seni mematung. Hal yang persis sama dengan almarhum ayahnya, yang juga seorang pematung. Namun sayang, rasa cinta yang berlebihan pada dunia itu pula yang menghilangkan akal sehatnya. Terlebih lagi batinnya tertekan lantaran ibu yang seharusnya memberi semangat malah melarangnya untuk menekuni dunia yang ia senangi. Dalam kekalutan, ia berusaha membuktikan kemampuannya. Begitu cintanya dia dengan dunia itu sehingga ia mengerjakan patung dengan sepenuh jiwanya. Patung-patung itu nyaris sempurna dan diminati banyak orang.Dari tangannya pula terlahirlah Nalini, yang di matanya merupakan gadis sempurna dan menjadi pujaan hatinya. Nalini adalah satu-satunya patung ciptaannya yang tak diperjual-belikan.

“Apa dia selalu berbicara dengan patung itu setiap saat, Dok?”tanya wanita itu pada dokter yang sehari-hari memeriksa keadaan anaknya.

“Begitulah, Bu. Saya rasa hingga saat ini keadaan Dudi belum menunjukkan adanya kemajuan.”jawaban sang dokter  membuat wanita itu makin terluka,“Dudi menganggap bahwa patung itu benar-benar hidup, seorang gadis cantik bernama Nalini. Dia selalu berkata bahwa sampai kapan pun ia tidak akan mau berpisah dengan Nalini. Yang ada dipikirannya saat ini hanya Nalini dan Nalini.”

Wanita itu terhenyak. Ia menelan ludah,kemudian bertanya,”Apakah mungkin Dudi masih bisa kembali seperti sedia kala, Dok?”

Dokter itu menghela nafas panjang dan melepas kacamatanya,”Kami akan berusaha untuk melakukan yang terbaik, Bu. Kami akan coba untuk melakukan pendekatan lebih lanjut pada Dudi. Namun itu semua juga tergantung pada kondisi kejiwaannya. Ya, kita sama-sama berdoa saja untuk yang terbaik, Bu.”

Wanita setengah baya itu kembali melihat ke dalam kamar melalui jeruji jendela. Dilihatnya sang anak memeluk patung itu. Matanya terpejam, tampak begitu bahagia. Ya, lelaki itu amat bahagia. Keinginannya terwujud sudah untuk tetap bersama dengan Nalini, gadis yang amat sempurna baginya.
 

*Cerpen ini telah dimuat dalam buku antologi Proyek Menulis Love Never Fails, diterbitkan pada Maret 2014 oleh NulisBuku

No comments:

Post a Comment