What's new?

Saturday, February 14, 2015

Ibu, Ajari Aku Rahasia Keikhlasanmu





Dear Ibu,

Apa kabar kau hari ini, Bu? Tak terasa sudah 22 tahun kau membimbingku di dunia ini. Meski aku telah lama meninggalkan usia remaja, namun engkau tak pernah berhenti untuk terus menuntunku agar kelak aku bisa menjadi wanita yang mandiri. Langkahmu tak pernah putus untuk mengingatkanku di saat aku alpa, meski terkadang aku mengulangi kesalahan yang sama berulang kali.

Bu, ingatkah Ibu saat dulu aku masih belajar untuk membersihkan rumah? Dulu aku yang masih kecil belum mengerti benar betapa pentingnya kemampuan untuk membersihkan rumah sendiri dan mengerjakan tugasku dengan enggan. Aku berpikir kenapa harus membereskan rumah setiap hari jika hal itu bisa dilakukan cukup hanya seminggu sekali? Kau pun menjelaskan bahwa kebersihan harus tetap dijaga setiap saat. Bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Rasa terpaksa untuk membersihkan rumah masih melekat hingga aku memasuki usia remaja. Namun begitu, tak bosan-bosan kau mengingatkanku untuk tetap rajin menjaga kebersihan setiap hari,”Kebersihan yang harus dijaga setiap hari bukan hanya kebersihan diri sendiri, tapi juga kebersihan lingkungan dan tempat tinggal kita,” kau menasihatiku seakan tak mengenal lelah,”nanti kalau kamu sudah punya rumah sendiri apa kamu juga tidak memedulikan kebersihan rumahmu? Sekalipun nanti kamu bekerja, kamu harus memperhatikan kebersihan rumah, apa lagi jika kamu punya anak nanti.” Kata-kata itu begitu mengena di hatiku, membuatku terdiam. Aku tersadar bahwa semua yang kau katakan benar adanya.

Ibu, kau adalah wanita terhebat yang pernah kukenal. Kau selalu bangun paling pagi di antara yang lainnya, memasak, juga menyiapkan segala keperluan keluarga di rumah. Setelah segalanya beres, barulah kau menyiapkan keperluanmu sendiri untuk berangkat bekerja. Ya, pekerjaanmu sebagai guru tak menyurutkan langkahmu untuk tetap menomor satukan keluarga. Menjelang sore hari, kau baru tiba di rumah dan masih tetap memperhatikan segala detil di rumah, sekalipun yang terkecil. Hal itu membuatku kagum sekaligus malu. Bagaimana bisa kau menjalani segala hal itu tanpa mengeluh? Tidak kah batin dan ragamu lelah, setiap hari harus melayani kebutuhan semua orang di keluarga, sementara kau sendiri punya kepentingan lain sebagai seorang pendidik yang juga harus kau perhatikan? Pernah suatu saat aku menanyakan hal ini padamu, yang kau jawab,”Kalau bukan Ibu, siapa lagi yang akan melakukan semua ini?” Jawabanmu membuat batinku teriris. Betapa selama ini sebagai anak perempuan, aku belum bisa berbakti padamu, Bu. Seharusnya aku bisa meringankan tugas-tugasmu, membantumu di rumah di saat aku senggang. Namun yang terjadi saat itu aku malah sibuk menghabiskan waktu di luar rumah dengan teman-teman, tanpa memikirkan betapa sibuknya engkau membagi waktumu. Saat itu juga aku berjanji untuk tak lagi mengecewakanmu. Aku bertekad untuk meringankan beban-bebanmu.

Ah Ibu, betapa kuatnya dirimu. Kau melakukan segala sesuatu tanpa pamrih. Ketika aku bertanya bagaimana bisa kau melakukan semua tugas ini dengan ikhlas, tanpa pernah protes sekalipun, kau hanya menjawab,”Ya, ini sudah menjadi kewajiban Ibu sebagai istri, sebagai ibu. Seorang ibu harus bisa mengesampingkan segala egonya dan mementingkan kebutuhan keluarga. Semua itu harus dilaksanakan dengan ikhlas, atas kesadaran diri sendiri. Nanti jika sudah menjadi istri dan seorang ibu, kamu pun juga harus demikian. Karena itu mulai saat ini Ibu membiasakanmu untuk membantu mengerjakan segala pekerjaan rumah.” Aku tercenung. Ternyata segala hal yang kau tanamkan padaku sejak kecil semata-mata hanya untuk kepentinganku sendiri. Tak pernah terbersit maksud lainnya di benak Ibu. Kau hanya ingin aku kelak bisa menjadi wanita yang berguna, istri dan ibu yang baik.

Ibu, izinkan aku belajar menjalani segala sesuatu dengan ikhlas sepertimu. Aku memang bukan orang yang dapat mengekspresikan segala sesuatu secara gamblang, namun aku ingin kau tahu nahwa jauh di dalam hati aku begitu menyayangimu. Karena itu, aku ingin mempersembahkan surat ini untukmu Bu, sekalipun saat ini bukan tanggal 22 Desember yang dicanangkan sebagai Hari Ibu. Rasa sayangku selalu terjaga untukmu setiap saat, meski aku tahu apapun yang kulakukan takkan mampu membalas kasihmu padaku. Ibu, jika nanti aku telah menikah dan mempunyai anak, izinkan aku untuk dapat terus belajar darimu akan nilai-nilai kehidupan, keikhlasan, dan kewajiban sebagai seorang wanita seutuhnya. Karena sampai kapanpun kau akan tetap menjadi ibu, sahabat, dan guru terbaik untukku. Terima kasih, Ibu. Kasih sayangmu padaku akan selalu tertanam di hatiku hingga kapanpun.



Yang Menyayangimu,




Winta Hari Arsitowati

2 comments:

  1. itu di buku adaa ? semacam novel atau apa ? mau bacaaa ih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nggak ada mbak nabil :) ini hanya tulisan yang saya buat untuk ikut serta dalam kompetisi yang diadakan penerbit Bukune, yg menerbitkan buku PS: I Love Mom ini hehe.. Terima kasih sudah baca tulisan saya ya mbak..

      Delete