What's new?

Monday, November 9, 2020

Review Buku: Silsilah Duka

 



Judul: Silsilah Duka

Pengarang: Dwi Ratih Ramadhany

Tahun terbit: 2019

Jumlah halaman: 134 halaman

Penerbit: Basabasi

Silsilah Duka mengisahkan kesedihan beruntun yang harus dialami Farid dan keluarganya. Setelah Ramlah istrinya memilih mengakhiri hidup dengan cara mengenaskan, Farid berusaha menjalani hidup dengan dua anak perempuannya, Majang dan Mangsen. Bukan hal yang mudah memang, terlebih ingatan akan Ramlah masih terus menghantui Farid dan anak-anaknya. Kepergian Ramlah yang tragis, juga beban berat yang harus dipikul Ramlah selama menjadi istri dan ibu, membuat Farid menyesal tidak bisa lebih sering ada di dekat istrinya, sekalipun ia telah berusaha menjadi suami dan pendukung nomor wahid untuk istrinya itu. Apalagi sumber beban itu datang tak lain dari Juhairiyah, ibu kandung Farid sendiri. Juhairiyah yang merasa semua perkataannya adalah benar, yang kerap menghakimi segala yang Ramlah lakukan, yang kerap menyalahkan Ramlah atas hal-hal yang menurutnya tidak tepat, hingga membuat Ramlah merasa bahwa dirinya hanya akan membawa keburukan bagi anak-anaknya. Nyatanya, Juhairiyah tidak hanya menanamkan luka di hati Ramlah, tapi juga menyemai duka bagi Farid dan adiknya, Kholila. Juhairiyah memaksa anak-anaknya untuk mengikuti kehendaknya dengan dalih surga ada di telapak kaki ibu. Mampukah Farid dan Kholila memutus rantai duka yang membelit keluarga mereka? Bagaimana Majang dan Mangsen yang masih kecil menyikapi nenek mereka yang begitu dominan?

Sesuai dengan judulnya, Silsilah Duka membawa isu mengenai duka yang dibawa secara turun temurun dalam keluarga yang diakibatkan hubungan tidak sehat dalam keluarga tersebut. Dalam hal ini, sumber dari segala nestapa itu bermuara pada sosok perempuan yang merasa statusnya sebagai seorang ibu membuat segala perkataannya harus dituruti, tidak peduli bagaimana caranya, apakah hal itu akan menorehkan luka di hati anak dan menantunya atau tidak. Dari Silsilah Duka, kita belajar pula bahwa peran perempuan sebagai seorang istri dan ibu tidaklah mudah. Tuntutan masyarakat terhadap bagaimana perempuan harus berlaku, bagaimana peran seorang istri dan ibu harus dilakukan, hingga kapan dan dengan siapa perempuan harus menikah, memberi tekanan tersendiri bagi perempuan. Jika hal-hal itu terus terjadi, bukan tidak mungkin seorang istri dan ibu dapat mrngalami baby blues, juga depresi berkepanjangan.

Dengan kisah yang suram dan penuh nestapa, Silsilah Duka adalah sebuah novela yang menarik untuk dibaca. Kisah yang dibawakan memang tragis, bahkan cenderung menyakitkan. Namun rentetan duka nestapa yang sejak awal dimunculkan dalam cerita ini mampu membuat pembacanya semakin tidak sabar untuk menyelesaikan hingga akhir. Isu yang dibawakan dalam buku ini juga relatable dengan kehidupan zaman now, dibumbui dengan sentuhan nilai-nilai tradisional. Buku ini memaparkan bahwa adanya relasi kuasa dan stigma masyarakat masih begitu kuat mempengaruhi kehidupan seseorang. Jika perempuan hidup dalam lingkungan yang hanya menghakimi segala hal yang ia lakukan, tanpa memberinya dukungan, tentu hal ini akan makin meracunu pikiran perempuan tersebut. Karena itu, sangat penting bagi kita untuk tidak menjadi racun dalam hubungan dengan siapa pun, dan lebih berhati-hati dalam menjaga tutur kata. Jangan sampai apa yang kita ucapkan justru menjadi pemicu kesedihan bagi orang lain.

Thursday, October 22, 2020

Review Buku: Elegi Sendok Garpu



Judul: Elegi Sendok Garpu
Pengarang: Bagus Dwi Hananto
Tahun terbit: 2018
Tebal buku: 188 halaman

Apa yang terbersit di benakmu saat mendengar kalimat "sendok garpu"? Hal-hal yang identik dengan rasa lapar? Meja makan? Atau pelbagai hal dalam rumah tangga? Bagaimana jika kata "elegi" tersisip di depannya? Makna apa yang terkandung di balik judul tersebut?

Elegi Sendok Garpu menyoroti kehidupan kelam sebuah keluarga disfungsional. Karena kesalahan yang Maya Prawitasari lakukan di masa lalu, nenek itu dikucilkan oleh keluarga anak perempuannya. Bahkan cucu-cucunya, Benjamin, Hanan, dan Editia, membiarkan begitu saja neneknya dibawa ke panti jompo. Maya pun hidup dalam penyesalan dan kesendirian tanpa keluarga. Di satu sisi, Ben si sulung merasa hampa dalam kesendiriannya, membawanya pada candu terhadap miras dan wanita. Sementara Han, si tengah, terus meratapi adik bungsu mereka, Edit, yang pergi sambil membawa rahasia yang ia tutupi rapat-rapat. Mampukah Maya, Ben, dan Han mengatasi rasa sepi yang kian menganga dalam diri mereka? Akankah penyesalan yang ada pada diri setiap mereka menggerakkan mereka untuk saling menyapa, atau justru terpendam begitu saja dalam diri sendiri?

Sesuai judulnya, Elegi Sendok Garpu mengupas perihal rahasia dan permasalahan yang telah dipendam dalam keluarga sejak lama, tentang keinginan dan hawa nafsu yang menggelegak, juga penyesalan-penyesalan yang menghantui hidup. Perihal harta warisan dan kebahagiaan di masa lalu yang berbanding terbalik dengan keadaan masa kini juga turut mewarnai kisah dalam buku ini. Betapa tragis ketika keluarga mengalami perpecahan yang bermula dari harta. Permulaan cerita yang lambat mungkin akan membuat sebagian orang merasa bosan, tapi intensitas baru akan terasa di pertengahan buku ini. Alur maju mundur dalam buku ini sepertinya telah menjadi ciri khas kepenulisan Bagus Dwi Hananto, seperti halnya buku terdahulunya yang berjudul Napas Mayat.

Meski mungkin tidak semua orang menyukai gaya penceritaannya, Elegi Sendok Garpu menyiratkan isu mengenai pentingnya keterbukaan dan komunikasi dalam keluarga, juga pentingnya menjalani hidup dengan ikhlas, bagaimana pun keadaannya. Jangan sampai dendam dan hasrat duniawi menimbulkan penyesalan bagi kita di kemudian hari.

Monday, October 5, 2020

Review Buku: Hei, Alga!



Judul: Hei, Alga!
Pemgarang: Cikie Wahab
Penerbit: Shira Media
Tahun terbit: 2020
Tebal buku: 108 halaman

Apa masalah terbesar yang mungkin untuk dihadapi seorang anak 12 tahun? Ulangan matematika yang sulit? Orangtua yang marah ketika kita bermain sepanjang hari? Atau guru yang memarahi saat kita lupa mengerjakan tugas? Bagaimana jika kita yang masih anak-anak harus memikul masalah berat yang datang bertubi-tubi dalam hidup?

Alga adalah anak laki-laki biasa. Yang membuatnya berbeda dari anak di sekitarnya adalah ia tidak tinggal dengan orangtuanya yang telah lama berpisah. Alga hanya tahu bahwa sejak ia kecil, ibunya menjadi tenaga kerja di luar negeri, sementara ayahnya yang bekerja di luar kota hanya bisa menjenguk Alga sebulan sekali. Hal itu membuat Alga harus tinggal bersama bibi dan sepupunya. Meski Alga masih tinggal dengan sanak saudaranya sendiri, ia tetap merasa tidak nyaman karena sepupunya kerap mengganggunya, sementara sang bibi kerap mengambil uang Alga demi kepentingan anaknya. Hal ini membuat Alga lebih nyaman ketika sedang bekerja menjaga kambing di rumah Pak Zul, tetangganya. Alga hanya memiliki seorang sahabat perempuan bernama Maria. Di sisi lain, Alga masih terus mengharap ibunya yang nun jauh di sana membalas suratnya setelah sekian lama tak ada kabar. Akankah Alga mendapatkan balasan surat dari ibunya? Dan ketika satu-satunya sahabat yang ia miliki membuatnya dimusuhi orang satu sekolah, apa yang Alga lakukan?

Hei, Alga! adalah sebuah sastra anak karya Cikie Wahab. Buku ini menjadi pemenang harapan dalam Sayembara Cerita Anak Dewan Kesenian Jakarta 2019. Sebagai penyuka cerita anak, tentu aku penasaran dengan buku ini. Dan pilihanku rupanya tidak salah. Cerita Hei, Alga! sebenarmya sederhana, namun cukup meninggalkan rasa pedih. Meski memang ada kesan terburu-buru dalam penceritaannya, namun aku merasa terbawa dengan kisah Alga yang sarat kesengsaraan. Seakan seluruh hidup Alga digelayuti oleh awan kelabu.


Seperti sastra anak kebanyakan, tokoh Alga dalam novel ini harus menghadapi masalah dari lingkungan sekitarnya. Dari masalah-masalah itulah tokoh Alga tampak mengalami pendewasaan karakter. Ia banyak belajar mengenai keikhlasan, pentingnya memaafkan, dan bahwa bagaimana pun juga, ikatan keluarga tetap harus dijaga. Alga juga belajar untuk merelakan, bahwa dalam hidup tidak setiap hal yang dia inginkan akan menjadi kenyataan. Tentu hal-hal itu menjadi pembelajaran hidup yang tidak mudah bagi anak 12 tahun. Jika kamu senang membaca cerita anak yang memuat banyak nilai kehidupan, buku ini patut untuk dilirik.


Thursday, September 24, 2020

Review Buku: 86

 


Judul: 86

Pengarang: Okky Madasari

Tahun terbit: 2011

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama


Sebagai seorang pegawai rendahan, apa yang akan kamu lakukan ketika atasanmu memerintahkan untuk menjalankan suatu pekerjaan yang akan menghasilkan pundi uang yang sangat banyak? Akankah kamu berpikir dua kali untuk megerjakannya? Atau kamu akan langsung mengiyakan, sekalipun kamu tahu ada risiko yang harus ditanggung di belakang nanti?

Novel 86 berkisah tentang Arimbi, seorang perempuan lugu yang merantau ke Jakarta. Dibesarkan oleh keluarga yang sederhana di desa, Arimbi yang meraih gelar sarjana dan menjadi PNS di pengadilan merupakan kebanggaan bagi bapak ibunya. Nyatanya, di pengadilan Arimbi hanyalah seorang juru ketik dengan penghasilan pas-pasan. Hidupnya di Ibukota masih sangat jauh dari kesan berkecukupan. Namun begitu Arimbi harus berusaha memutar uangnya agar bisa mencukupi kebutuhan hidupanya, sekaligus memenuhi harapan orangtuanya di desa. Sampai suatu ketika atasan Arimbi memerintahkannya untuk menjalankan tugas yang Arimbi ketahui penuh risiko dan berbahaya, namun dapat memberikan kehidupan yang jauh lebih layak baginya. Bagaimana nasib Arimbi selanjutnya? Akankah dia tetap mengikuti permainan yang telah banyak dilakukan orang-orang, sekalipun hal itu menyalahi aturan dan membahayakan dirinya?

Novel 86 memaparkan potret kehidupan yang keras dan bagaimana sebagian masyarakat menggunakan segala cara guna mendapatkan taraf hidup yang lebih baik. Novel ini juga menyajikan paparan realita kehidupan di sekitar kita, bahwa mereka yang memiliki kuasa dan harta acap kali lebih dimudahkan untuk mendapat akses dalam segala hal. Uang seakan punya andil dalam segala hal, membuat orang kadang lupa diri dalam memburu harta. Novel 86 juga menunjukkan bahwa kadang apa yang sudah jamak dilakoni orang-orang belum tentu merupakan suatu hal yang benar, sehingga kita sebagai manusia harus tetap berpikir jernih sebelum melakukan sesuatu.

Okky Madasari memang kerap mengangkat fenomena-fenomena sosial dalam setiap karyanya, dan dalam novelnya kali ini ia mengupas permasalahan korupsi yang ada di Indonesia. Bahwa korupsi dan suap tidak hanya dapat dilakukan oleh para pejabat yang bergelimang harta, namun juga dapat dijumpai dalam hal-hal sederhana di sekeliling kita. Tidak hanya seputar korupsi, kita juga dapat menemukan beberapa fenomena sosial lain dalam novel ini. Penasaran? Baca saja buku ini! :)

Thursday, September 17, 2020

Review Buku: Lusifer! Lusifer!


Judul: Lusifer! Lusifer!

Pengarang: Venerdi Handoyo

Penerbit: POST Press

Tahun terbit: 2019


Ketika seseorang yang dianggap "berbeda dari orang normal kebanyakan" mengalami keanehan dan memiliki keluhan, apa yang sesungguhnya terjadi padanya? Benarkah dirinya dirasuki roh jahat? Atau sesungguhnya, ia memang membutuhkan seseorang yang bisa memahami jiwanya?

Kisah dalam Lusifer! Lusifer! dituturkan melalui kacamata tokoh Markus Yonatan. Dikisahkan bahwa pada mulanya Markus Yonatan menjalani kehidupan yang biasa saja bersama orangtua dan kakak laki-lakinya. Suatu peristiwa membuat  kehidupan keluarga mereka yang semula cenderung disfungsional, bahkan terkesan jauh dari agama, menjadi lebih hangat dan religius. Mereka pun mulai mengikuti persekutuan doa di suatu gereja, bahkan menjadi pengurus di sana. Hal inilah yang membawa Markus Yonatan mengenal Singa Yehuda (yang akrab disapa SY) dan adiknya, Mawarsaron. SY dan Mawarsaron merupakan anak-anak petinggi di gereja tempat keluarga Markus Yonatan beribadah. Sebagai orang penting di gereja, orangtua SY dan Mawarsaron selalu ingin putra-putrinya menjadi anak yang baik dan taat pada Tuhan. Mereka selalu mengatakan bahwa Mawarsaron malas berdoa dan menganggap perilakunya yang kerap menonton film Hollywood, membaca majalah remaja, dan mendengar lagu beberapa boyband terkenal, dapat merusak pemikiran mereka dan menjauhkan diri dari Tuhan. Sampai suatu ketika jemaat gereja dikejutkan oleh suatu kabar: Mawarsaron hamil di luar nikah! Yang lebih mengejutkan lagi, Mawarsaron berteriak-teriak bagai kesetanan, menyatakan bahwa anak yang dikandungnya itu adalah anak Iblis. Para pengurus gereja pun meyakini bahwa Lusifer, Sang Raja Iblis, tengah bersarang di tubuh Mawarsaron. Diadakanlah pengusiran roh guna mengenyahkan Lusifer dari tubuh gadis itu. Tapi benarkah Mawarsaron tengah dirasuki Lusifer? Dapatkah Markus Yonatan mencari tahu kebenarannya?

Lusifer! Lusifer! memaparkan kritik sosial terhadap labelling "lemah iman" dan "kurang berdoa" yang biasa dialamatkan masyarakat terhadap orang-orang yang dinilai bermasalah. Meski dibalut oleh nilai-nilai keagamaan, buku ini sama sekali tidak terkesan mendoktrin atau menggurui. Isu yang digunakan pun sangat dekat dengan masyarakat saat ini, tentang bagaimana terkadang masalah manusia tidak hanya membutuhkan penyelesaian melalui komunikasi atau hubungan dengan Tuhan, tapi juga dengan komunikasi yang baik dengan sesama. Terkadang manusia hanya ingin didengarkan dan dihargai, bukannya dinilai dan dihakimi. Semakin kita menghakimi seseorang, justru bisa jadi kondisi orang itu malah makin memburuk.

Lusifer! Lusifer! menawarkan cerita yang segar dengan isu menarik. Kisah ini menyentil kondisi sosial masyarakat zaman now yang kerap menghakimi orang lain tanpa tahu kondisi sebenarnya atau menggunakan nama agama sebagai pembenaran dalam melakukan segala sesuatu. Buku ini tidak terlalu tebal dan bahasanya mudah dipahami, membuatnya bisa dijadikan alternatif bagi yang sedang mencari novel dengan kisah tak biasa.

Monday, July 13, 2020

Review Buku: Na Willa



Judul buku: Na Willa
Pengarang: Reda Gaudiamo
Ilustrator: Cecilia Hidayat
Tahun terbit: 2018
Tebal buku:119 halaman
Penerbit: Post Press

Ketika seorang anak kecil menceritakan pengalamannya dengan semangat, apa reaksi yang kita berikan? Mendengarkan dengan saksama? Atau justru terkesima dengan kepolosan dan tingkah lucunya?

Bagai menyimak celotehan khas anak-anak, buku Na Willa diceritakan dari sudut pandang si tokoh utama sendiri. Na Willa adalah seorang gadis kecil berkepang dua yang tinggal di sebuah gang di Surabaya. Dalam kesehariannya, Na Willa tinggal bersama Mak, sementara Pak yang bekerja sebagai pelaut baru dapat pulang setelah beberapa waktu lamanya berlayar. Pernah suatu kali Pak berlayar begitu lama dan ketika pulang ke rumah, si kecil Na Willa seakan tidak mengenali ayahnya. Sejak itu, Pak selalu berusaha untuk tidak terlalu lama dalam berlayar. Na Willa juga bercerita kesehariannya dengan teman sepermainannya: Farida, Dul, dan Bud. Bersama mereka,Na Willa kerap menghabiskan waktu bermain keleremg, layang-layang, hingga mengejar kereta api. Sampai suatu ketika Na willa harus berhenti mengejar kereta api karena suatu kejadian.

Na Willa yang kritis juga menjalani hari-harinya dengan berbagai keingintahuan: bagaimana radio kecil kesayangan Mak bisa mengeluarkan suara para penyiar? Mengapa ada pengantin yang menangis satu hari sebelum pernikahannya? Sebagaimana anak kecil pada umumnya, Na Willa juga sempat diledek oleh tetangganya, hal yang membuat Na Willa naik pitam. Dari Mak, Na Willa belajar untuk tidak serta merta membalas perlakuan orang yang menyakiti hatinya, terutama jika orang itu lebih lemah darinya. Mak pula yang mengenalkan Na Willa pada buku-buku bacaan, membuat Na Willa sudah menyukai baca tulis bahkan sebelum ia masuk TK. Dari Mak, Na Willa mengenal lagu-lagu yang kerap diputar di radio, termasuk lagu Lilis Suryani yang Mak sukai.

Na Willa dapat dikatakan sebagai sebuah buku yang dapat dibaca segala usia, dari anak-anak hingga orang dewasa. Meski dikisahkan dari kacamata anak-anak, Na Willa tetap mengangkat isu-isu yang akrab dengan keseharian kita: hubungan dengan keluarga, toleransi terhadap sesama, bagaimana bersosialisasi dengan sekitar, pendidikan terhadap anak, hingga tanggung jawab terhadap apa yang telah kita lakukan. Semua dituturkan secara sederhana melalui sudut pandang Na Willa, namun tetap memberikan kesan tersendiri bagi pembaca. Membaca Na Willa bagai mengajak pembaca untuk melakukan nostalgia masa kecil. Ada beberapa bagian yang terasa familiar bagi saya, seperti ketika Na Willa kerap dibacakan dongeng sebelum tidur, begitu semangat membaca berbagaib tulisan ketika ia sudah bisa membaca, dan Na Willa dapat menyanyikan setiap lagu yang ibunya dengarkan dari radio. Na Willa, dengan segala kelucuan dan kehangatannya, menyiratkan bahwa dunia anak yang tampak sederhana dan mudah juga dapat menjadi suatu hal yang pelik bagi anak-anak sendiri. Karena itu sedari dini mereka harus belajar mengenai berbagai hal yang ada di sekitarnya, agar kelak anak-anak dapat mengambil keputusan untuk setiap hal yang mereka alami.

Skor: 4/5                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           

Saturday, June 27, 2020

Review Buku: Esperanza Rising



Judul buku: Esperanza Rising
Pengarang: Pam Muñoz Ryan
Tahun terbit: 2000
Penerbit: Scholastic
Tebal buku: 262 halaman

Bagaimana rasanya jika orang terkasih yang selalu ada untuk kita tiba-tiba pergi meninggalkan kita? Siapkah kita jika kebahagiaan dan kenyamanan yang biasa kita rasakan harus hilang begitu saja?

Esperanza Rising mengisahkan kehidupan Esperanza Ortega, seorang anak gadis dari keluarga kaya raya di El Rancho de las Rosas, Meksiko. Menjadi anak tunggal dari keluarga terpandang dan dikelilingi oleh orang-orang yang menyayanginya membuat hidup serasa begitu mudah dan menyenangkan bagi Esperanza. Tragedi dimulai ketika ayahnya meninggal tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ketiga belas. Para pamannya berusaha menguasai harta mendiang ayahnya, membuat Esperanza harus melarikan diri ke California bersama ibu dan para pelayannya. Di sana Esperanza harus beradaptasi dengan lingkungan baru: tinggal di kamp khusus pekerja, meninggalkan kehidupan lamanya yang glamor, juga belajar mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Esperanza harus berhadapan dengan orang yang tidak menyukainya tanpa sebab dan ketika ibunya sakit, Esperanza harus berjuang untuk mendapatkan uang agar ibunya bisa mendapat perawatan yang layak.

Buku ini adalah salah satu buku sastra anak-anak yang kusukai. Tidak hanya memiliki jalan cerita yang menyentuh, kisah ini juga mengandung banyak pesan moral. Salah satunya agar kita tidak mudah menyerah kala menghadapi kesulitan dan jika kita berusaha keras, kita akan menemukan jalan dari masalah yang kita dapatkan. Tokoh Esperanza dalam novel ini juga mengalami pendewasaan yang menunjukkan bahwa kita harus bisa menyesuaikan diri dengan keadaan yang kita hadapi, menjalani hiduo dengan keberanian, keyakinan, dan ketulusan agar bisa mencapai harapan kita. Kita memang tidak selalu akan mendapat apa yang kita inginkan, tapi hidup harus tetap kita jalani.

Buku ini memiliki kesan tersendiri untukku, karena aku menemukannya di American Corner Kampus B Unair saat sedang mencari topik untuk obyek skripsi. Saat membaca buku ini, aku tersentuh dengan ceritanya dan merasa bahwa topiknya sangat menarik: tentang seorang gadis yang berjuang untuk menjadikan hidupnya berarti bagi orang-orang sekitarnya sekalipun ia sedang mengalami kesulitan. Akhirnya novel inilah yang kugunakan sebagai obyek skripsi dan mengantarkan kelulusanku. 

Aquel que hou se cae, se levantará mañana
(He who falls today may rise tomorrow)

Thursday, June 18, 2020

Review Buku: Pak Supi: Kakek Pengungsi


Judul Buku: Pak Supi: Kakek Pengungsi
Pengarang: S. Rukiah Kertapati
Jumlah halaman: 98
Penerbit: Ultimus

Apa jadinya jika anak-anak sejak dini tumbuh di tengah lingkungan yang kerap memberi contoh buruk seperti memfitnah atau menggunjing orang tanpa memgetahui kebenarannya? Tentu sebagai peniru ulung, anak akan menganggap apa yang dilihat di sekitarnya adalah hal wajar yang patut ditiru, tanpa menyadari bahwa hal itu sebenarnya bukan sesuatu yang benar untuk dilakukan. Seperti itulah gambaran lingkungan tempat tinggal Abas di buku cerita anak Pak Supi: Kakek Pengungsi.

Buku ini mengisahkan tentang Pak Supi, seorang tua pendatang baru di Kampung Sukarapih. Sejak kepindahannya, Pak Supi dikenal sebagai seseorang yang pendiam dan selalu tampak murung. Ia tidak pernah bicara dengan siapa pun di kampung itu. Berbagai macam gunjingan diarahkan warga padanya, bahkan Pak Supi disebut-sebut sebagai ahli tenung. Makin ngeri lah warga untuk mendekatinya, terutama anak-anak. Hingga suatu hari seorang anak bernama Abas bersama dua temannya mengintip ke dalam gubuk kecil Pak Supi. Betapa terkejut mereka mendapati Pak Supi yang selalu muram itu sedang tersenyum bahagia sambil menimang sebuah boneka kayu. Apa yang sebenarnya terjadi pada Pak Supi? Dari mana ia berasal? Benarkah ia dalang dari sebuah kebakaran dan pencurian yang terjadi di rumah salah satu warga? Apa yang Abas lakukan ketika ia mengetahui kebenaran tentang Pak Supi?

Ada perasaan campur aduk ketika membaca buku cerita ini. Rasanya ikut sebal membaca tentang warga kampung yang menggunjing serta menuduh Pak Supi yang bukan-bukan, sampai berpikir,"Kok bisa sih mereka setega itu sama orang tua yang hidup sebatang kara?". Namun di satu sisi, buku ini juga sarat akan pesan moral. Bahwa kita tidak boleh menilai orang tanpa benar-benar mengenalnya, bahwa keadilan dan kejujuram harus ditegakkan sesulit apa pun itu. Cerita ini juga mengajarkan bahwa kebohongan tidak akan bisa membuat kita merasa tenang. Buku ini juga memberi pelajaran bagi orang dewasa bahwa kita harus memberi contoh yang baik pada anak-anak dan belajar menghargai sesama.

Menemukan buku Pak Supi: Kakek Pengungsi ini bagai menemukan harta terpendam bagiku. Buku ini terbit pertama kali pada 1961 dan diterbitkan ukang oleh Ultimus di 2018, sehingga gaya ceritanya sangat khas buku-buku anak di zaman lawas. Walau begitu, buku inj masih sangat layak dinikmati di era modern ini. Buku ini hampir tidak pernah kutemui di toko buku kebanyakan, hingga suatu hari aku mampir ke online shop Pataba Store dan menemukan beberapa buku cerita anak yang cukup langka, salah satunya adalah buku ini. Buku anak-anak memang memiliki cerita yang sederhana, namun kita yang bukan anak-anak pun masih pantas membacanya, karena banyak pesan berharga yang bisa kita dapat di sana.

4/5

Sunday, June 14, 2020

Review Buku: Mata Paling Biru



Judul: Mata Paling Biru
Pengarang: Toni Morrison
Tahun terbit: 2019
Penerbit: Basa Basi
Jumlah halaman: 284

Rasisme tampaknya masih menjadi salah satu permasalahan yang belum tuntas di dunia ini. Tidak hanya di Amerika, negara yang baru-baru ini dihebohkan karena kasus rasisme yang dilakukan salah seorang aparat hukum hingga menewaskan seorang pria kulit hitam, rasisme pun masih terjadi di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Karena itu, rasanya pas sekali jika kali ini aku mengulas novel Mata Paling Biru karya Toni Morrison ini.

Sebenarnya aku sudah lama sekali mendengar tentang Mata Paling Biru. Pertama kali aku mengetahui novel ini dari sebuah kuliah tamu yang dibawakan oleh seorang dosen tamu berkulit hitam. Di sela materi yang ia sampaikan, ia menyebut nama Toni Morrison sebagai salah satu pengarang wanita kulit hitan yang karya-karyanya kerap menyuarakan isu-isu rasisme dan keperempuanan. Dosen itu juga menyebut judul The Bluest Eye dan menceritakan sedikit tentangnya. Saat itu juga aku jadi tertarik pada novel ini, namun belum juga kesampaian membeli versi aslinya yang berbahasa Inggris. Ketika tahun 2019 aku mendengar kabar bahwa buku ini akan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, aku langsung excited! Dan akhirnya beberapa bulan lalu, aku berhasil membeli Mata Paling Biru.

Mata Paling Biru bercerita tentang Pecola, seorang gadis kecil berkulit hitam yang kerap mengalami diskriminasi tidak hanya oleh orang-orang kulit putih, tetapi juga oleh orang-orang kulit berwarna di sekitarnya. Bahkan keluarga Pecola sendiri memperlakukannya dengan tidak baik. Pecola melihat bahwa perlakuan orang-orang kepadanya sangat berbeda dengan perlakuan terhadap anak-anak perempuan berkulit putih, berambut pirang, dan bermata biru. Hal itu menanamkan satu hal pada Pecola: bahwa jika ia memiliki mata biru, ia akan menjadi gadis cantik dan semua penderitaannya akan sirna. Sejak itu Pecola berkeinginan untuk memiliki mata biru, mata yang paling biru dibanding yang lainnya.

Melalui cerita ini, kita seakan dihadapkan pada realita rasisme yang masih terus berkembang: perlakuan tidak mengenakkan yang harus diterima masyarakat berkulit hitam, adanya inferioritas terhadap masyarakat berkulit putih, hingga adanya pemikiran bahwa masyarakat berkulit putih selalu lebih baik, memunculkan keinginan untuk menjadi seperti mereka. Sadar atau tidak, hal-hal tersebut masih ada di sekitar kita, meski dikemas dalam bentuk yang berbeda. Tampaknya hingga kini rasisme masih menjadi masalah yang belum terpecahkan sepenuhnya.

Morrison sendiri berhasil menyuguhkan kisah rasisme yang dialami seorang gadis kecil dua belas tahun dengan apik. Alur kisah dalam buku ini memang cenderung lambat, namun mampu menghadirkan perasaan menyesakkan. Tidak hanya Pecola, kita juga akan dihadapkan dengan kisah beberapa orang yang ada di sekitar Pecola, yang melatarbelakangi perilaku mereka terhadap Pecola. Satu hal yang cukup disayangkan dari buku ini adalah bahasa terjemahan yang digunakan. Beberapa kalimat terasa diterjemahkan secara word-to-word, sehingga makna yang didapat sedikit berbeda dan kurang 'nendang'. Apa pun itu, Mata Paling Biru seakan mengingatkan kita bahwa rasisme masih terus merajalela dan harus dihentikan.

Skor: 3/5

Sunday, June 7, 2020

Review Buku: Hijrah Jangan Jauh-jauh, Nanti Nyasar



Judul: Hijrah Jangan Jauh-jauh, Nanti Nyasar!
Penulis: Kalis Mardiasih
Tahun terbit: 2019
Penerbit: Mojok
Tebak buku: 208 halaman

Jangan salah kaprah ketika membaca judul buku ini. Bukan, buku ini bukan bermaksud melarang kita untuk melakukan hijrah secara mendalam atau totalitas. Buku ini merupakan sekumpulan esai yang ditulis Kalis Mardiasih mengenai fenomena-fenomena sosial yang membahas mengenai Islam dan hijrah. Esai-esai tersebut ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami, namun tetap bernas.

Hijrah sendiri secara harfiah memiliki arti berpindah menuju kehidupan yang lebih baik. Hal ini dapat terjadi dalam segala segi kehidupan, termasuk dalam hal agama. Tak dipungkiri, kata hijrah begitu lekat dengan isu agama. Ketika seorang public figure tampak lebih relijius atau baru saja mengenakan jilbab, maka dia akan disebut 'sudah hijrah'. Memang, hal itu tidak salah. Namun, bagaimana jadinya jika beberapa orang yang merasa lebih paham akan agama atau isu-isu tertentu melakukan penilaian sepihak terhadap orang sekitarnya yang memiliki nilai berbeda dengan dirinya? Apakah jika kita tidak setuju dengan suatu hal lalu kita dibenarkan untuk berkoar-koar di media sosial bahwa hal itu salah dan kita benar, tanpa lebih dulu menyelami isi dari hal tersebut? Lalu jika kita memaksakan orang lain untuk menerima nilai yang kita anut, melakukan penggiringan opini begitu saja, apakan itu dapat dibenarkan?

Buku ini memaparkan bahwa tidak masalah jika kita hendak mempelajari agama secara lebih dalam atau menganut nilai-nilai tertentu yang berbeda dari orang lain. Namun, bukan berarti itu dapat membuat kita merasa lebih benar dan melakukan judgement terhadap orang lain yang berbeda pandangan dengan kita. Mungkin niat kita baik, hendak mengajak orang lain dalam kebaikan. Namun ingat pula bahwa setiap orang memiliki proses belajar yang berbeda dalam hidup, sehingga pandangan hidup yang dimiliki akan berbeda pula. Tidak ada salahnya bukan jika kita menghargai apa pun pandangan yang orang lain miliki, sekalipun itu berbeda dengan nilai yang kita anut? Jangan lupa bahwa kita hidup dalam masyarakat yang menganut keberagaman, sehingga kita pun harus bisa tetap bertoleransi dan membuka diri terhadap setiap hal yang ada di sekitar kita.

Skor: 4/5

Friday, May 22, 2020

Review Buku: The Silent Patient

Judul buku: The Silent Patient (Pelukis Bisu)
Pengarang: Alex Michaelides
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2019
Tebal buku: 395


The Silent Patient menceritakan tentang usaha seorang psikiater bernama Theo Faber dalam menangani pasiennya, Alicia Berenson, yang didakwa atas pembunuhan terhadap suaminya dan  tidak mengeluarkan sepatah kata pun setelahnya, sekalipun dalam persidangan. Theo meyakini bahwa diamnya Alicia mengandung pesan tertentu yang hendak ia sampaikan, dan semua itu berkaitan dengan Alcestis, lukisan potret diri yang Alicia buat.

Buku ini benar-benar berhasil membuatku tidak berhenti membalik halamannya. Untuk ukuran novel yang cukup tebal, gaya penceritaan dan plot yang dimiliki The Silent Patient juga tidak membosankan. Beberapa istilah psikologi juga diterangkan dalam buku ini dengan cara yang mudah dimengerti. Pada setiap lembar bab baru juga terdapat kutipan-kutipan dari beberapa tokoh ternama, seperti Jean-Paul Sarte, William Shakespeare, hingga Sigmund Freud yang dikenal sebagai bapak Psikologi.

Sebagai pengarang, Michaelides berhasil memukau pembaca melalui novel debutnya ini. Ia menghadirkan unsur psikologikal-thriller yang pas namun seru untuk terus diikuti, hal yang membuat buku ini patut dibaca oleh para penggemar fiksi psikologikal-thriller.

Skor: 5/5

Thursday, March 19, 2020

Saudade

Entah telah berapa musim
Rindu ini bersemayam
Menghantui setiap malam
Menggerogoti seluruh tubuh

Tak terhitung sudah berapa purnama
Mata ini terjaga
Tidur tak nyenyak
Menantikan dekap yang sama

"Dia akan kembali, dia pasti kembali."
Suara yang terus menggaung di telinga
Menancap dalam di sanubari

Meski sebatang kara di sini
Menanti apa yang tak kembali
Mengharap ia 
Yang memilih pergi

Rindu itu bergentayangan
Berteriak sejadi-jadinya
Menyisakan lara tiada ampun

N.B.
Saudade diambil dari bahasa Portugis, yang berarti merindukan seseorang yang dicinta, namun telah pergi.

Thursday, March 12, 2020

La Douleur Exquise


Hamba pikir tuan akan tinggal
Maka hamba sajikan makanan terlezat
Buah segar yang ranum siap santap
'Tuk hidangan pencuci mulut

Hamba kira tuan akan menetap
Maka hamba siapkan ranjang ternyaman
Lengkap dengan selimut penghangat
Agar tuan lelap di peraduan

Namun sayang,
Tuan tak pernah tinggal
Tak pula menetap

Tuan hanya singgah
Datang seperlunya
Berkunjung semaunya
Pergi sesuka hati

Senja makin meninggi
Waktu terus menua
Tuan tak kunjung datang
Tak pula berkabar

Merana hati ini
Basah mata ini
Tuan tak bakal hadir
Hamba harus tahu diri

N.B.
Judul diambil dari bahasa Perancis yang berarti sakit hati yang dirasakan ketika orang yang dicintai tak bisa dimiliki.

Wednesday, March 11, 2020

Ras Le Bol

Ia bangun pondasi rasa ini 
Sepenuh hati
Berharap suatu hari nanti
Dapat bernaung di sini
Bersama sang kekasih hati

Dihiasnya dengan benih sayang
Diguyuri air yang bening
Disinari cahaya terang
Membikin hatinya jadi riang

Ia jaga sedemikian kuat
Ia bulatkan niat
Ia terus bekerja giat
Agar bangunan itu berdiri hebat

Namun akankah bahagia
Benar menjadi miliknya?
Jika ia yang harus terus berusaha
Menyatukan pecahan-pecahan kaca
Mengurai benang kusut dari dua kepala

Tak sanggup ia sendiri memperbaikinya
Tak kuasa ia merawatnya
Jika yang ia kasihi mengacuhkannya
Mengombang-ambingnya dalam dilema

Maka ia menyerah
Ia lepaskan rasa 
Yang justru membawa resah
Ia relakan pujaan hatinya
Meski perih terus merekah
Meski rasa masih tersisa

Harapan yang tanggal mengajarkannya
Bahwa perpisahan harus diterima
Bahwa ikhlas adalah jalan satu-satunya
Bahwa waktu akan mengobati semuanya

N.B
Ras le bol merupakan istilah bahasa Perancis yang berarti "selesai, harus ditinggalkan, harus menyerah."
Sebuah langkah awal untuk kembali menulis puisi. Semoga ke depannya dapat lebih konsisten menulis, dalam bentuk apapun itu.