What's new?

Sunday, June 14, 2020

Review Buku: Mata Paling Biru



Judul: Mata Paling Biru
Pengarang: Toni Morrison
Tahun terbit: 2019
Penerbit: Basa Basi
Jumlah halaman: 284

Rasisme tampaknya masih menjadi salah satu permasalahan yang belum tuntas di dunia ini. Tidak hanya di Amerika, negara yang baru-baru ini dihebohkan karena kasus rasisme yang dilakukan salah seorang aparat hukum hingga menewaskan seorang pria kulit hitam, rasisme pun masih terjadi di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Karena itu, rasanya pas sekali jika kali ini aku mengulas novel Mata Paling Biru karya Toni Morrison ini.

Sebenarnya aku sudah lama sekali mendengar tentang Mata Paling Biru. Pertama kali aku mengetahui novel ini dari sebuah kuliah tamu yang dibawakan oleh seorang dosen tamu berkulit hitam. Di sela materi yang ia sampaikan, ia menyebut nama Toni Morrison sebagai salah satu pengarang wanita kulit hitan yang karya-karyanya kerap menyuarakan isu-isu rasisme dan keperempuanan. Dosen itu juga menyebut judul The Bluest Eye dan menceritakan sedikit tentangnya. Saat itu juga aku jadi tertarik pada novel ini, namun belum juga kesampaian membeli versi aslinya yang berbahasa Inggris. Ketika tahun 2019 aku mendengar kabar bahwa buku ini akan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, aku langsung excited! Dan akhirnya beberapa bulan lalu, aku berhasil membeli Mata Paling Biru.

Mata Paling Biru bercerita tentang Pecola, seorang gadis kecil berkulit hitam yang kerap mengalami diskriminasi tidak hanya oleh orang-orang kulit putih, tetapi juga oleh orang-orang kulit berwarna di sekitarnya. Bahkan keluarga Pecola sendiri memperlakukannya dengan tidak baik. Pecola melihat bahwa perlakuan orang-orang kepadanya sangat berbeda dengan perlakuan terhadap anak-anak perempuan berkulit putih, berambut pirang, dan bermata biru. Hal itu menanamkan satu hal pada Pecola: bahwa jika ia memiliki mata biru, ia akan menjadi gadis cantik dan semua penderitaannya akan sirna. Sejak itu Pecola berkeinginan untuk memiliki mata biru, mata yang paling biru dibanding yang lainnya.

Melalui cerita ini, kita seakan dihadapkan pada realita rasisme yang masih terus berkembang: perlakuan tidak mengenakkan yang harus diterima masyarakat berkulit hitam, adanya inferioritas terhadap masyarakat berkulit putih, hingga adanya pemikiran bahwa masyarakat berkulit putih selalu lebih baik, memunculkan keinginan untuk menjadi seperti mereka. Sadar atau tidak, hal-hal tersebut masih ada di sekitar kita, meski dikemas dalam bentuk yang berbeda. Tampaknya hingga kini rasisme masih menjadi masalah yang belum terpecahkan sepenuhnya.

Morrison sendiri berhasil menyuguhkan kisah rasisme yang dialami seorang gadis kecil dua belas tahun dengan apik. Alur kisah dalam buku ini memang cenderung lambat, namun mampu menghadirkan perasaan menyesakkan. Tidak hanya Pecola, kita juga akan dihadapkan dengan kisah beberapa orang yang ada di sekitar Pecola, yang melatarbelakangi perilaku mereka terhadap Pecola. Satu hal yang cukup disayangkan dari buku ini adalah bahasa terjemahan yang digunakan. Beberapa kalimat terasa diterjemahkan secara word-to-word, sehingga makna yang didapat sedikit berbeda dan kurang 'nendang'. Apa pun itu, Mata Paling Biru seakan mengingatkan kita bahwa rasisme masih terus merajalela dan harus dihentikan.

Skor: 3/5

No comments:

Post a Comment