What's new?

Monday, December 30, 2019

Jurnal Syukur di Akhir Tahun

Rasanya sudah cukup lama sejak terakhir kali aku menulis di blog ini beberapa bulan lalu. Ya, aku tahu bahwa aku belum bisa memenuhi janjiku sendiri. Aku sempat berjanji untuk rutin menulis (lagi), untuk menenangkan diri dan melampiaskan apa saja yang terjadi dalam keseharianku. Namun ternyata semangat in masih naik turun :( Aku tahu tidak adil rasanya jika harus menyalahkan kesibukan, menyalahkan tugas-tugas yang harus kukerjakan, atau waktu yang berjalan cepat. Memang kusadari aku perlu lebih memompa semangatku sendiri agar bisa mencapai targetku.

Jadi... mari kita mulai.

Terinspirasi dari seorang teman, aku memutuskan untuk membuat 'jurnal syukur' di akhir tahun. Ya, karena ini sudah masuk akhir tahun, dan begitu banyak hal yang terjadi di tahun 2019, mengapa aku tidak membuat daftar peristiwa yang harus kusyukuri sepanjang tahun ini? Mungkin memang membuat jurnal syukur di akhir tahun bukan sesuatu yang banyak dilakukan. Biasanya orang-orang akan mulai mencatat resolusi yang akan dilakukan di tahun mendatang, apa saja yang mereka harapkan ke depannya. Hal itu sah-sah saja sih untuk dilakukan, tapi bagiku yang merasa bahwa 2019 adalah tahun yang penuh lika-liku, sangat perlu rasanya untuk mensyukuri bahwa sampai saat ini aku masih bisa bertahan, menjalani dan berproses dalam segala peristiwa. belajar dari pengalaman-pengalaman yang telah lalu.

Kira-kira apa saja hal yang perlu kusyukuri di tahun 2019 ini?

1. Mencicipi Bekerja Kantoran Lagi

Di awal 2019, aku sempat diterima sebagai pekerja kantoran purna waktu di sebuah perusahaan desain kreatif. Tentunya bukan sebagai desainernya, melainkan sebagai copywriter. Meski dulunya aku pernah menjadi copywriter, tapi yang membedakan kali ini perusahaan tempatku bekerja lebih banyak melayani pembuatan laporan akhir tahun untuk beberapa BUMN. Tentunya hal itu berbeda dengan pekerjaanku di perusahaan terdahulu yang menangani pembuatan iklan dan penerjemahan buku cerita. Aku harus belajar banyak hal dari awal, beradaptasi dengan ritme kerja yang baru juga. Sayangnya aku tidak bisa melanjutkan kontrakku lagi di sana. Tapi aku bersyukur sudah mendapat kesempatan lagi untuk bekerja kantoran dan belajar banyak hal di sana. Hal ini juga lah yang makin memantapkanku untuk bekerja di dunia pendidikan.

2. Kembali Menjadi Pengajar

Setelah kontrakku di perusahaan desain kreatif tak diperpanjang, aku sempat mengalami kebingungan. Bagaimana aku bisa menabung dan memenuhi kebutuhan hidup kalau aku tak punya penghasilan? Di usia yang sudah kelewat matang, terlebih aku sudah bukan anak sekolahan, tentunya aku tidak bisa meminta-minta uang saku ke orangtua. Aku juga tidak betah jika harus terus menganggur.

Tapi memang nyatanya rezeki itu sudah diatur. Di saat aku bingung mencari pekerjaan, salah seorang teman tanteku menghubungiku, memintaku untuk menjadi guru les privat anak-anaknya. Beberapa bulan kemudian aku juga kembali mengajar di Surabaya Hotel School, mengajar mata kuliah yang lebih sesuai dengan background pendidikanku. Tidak hanya itu, aku juga diterima sebagai pengajar bahasa Inggris di sebuah tempat kursus yang kebanyakan siswanya berasal dari sekolah berkurikulum internasional. Tentunya hal ini menjadi sebuah tantangan dan cukup merepotkan. Tapi aku senang bisa kembali ke dunia pendidikan, bisa bekerja dengan orang banyak dan bertemu siswa yang beraneka ragam. Bagiku, mengajar, bertemu dan berbincang dengan siswa-siswa adalah sebuah hal yang nenyenangkan namun harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Ada kalanya berinteraksi dan melihat kelakuan mereka dapat menjadi hiburan bagiku.

Ya, sekalipun aku bukan orang ekstrovert tapi entah kenapa aku lebih suka pekerjaan yang memungkinkanku bertemu dan berbicara dengan banyak orang dibanding harus duduk di balik meja sambil mengerjakan tugas. Dan makin ke sini, aku semakin bersyukur bisa mengajar, sekalipun saat ini belum menjadi pengajar tetap.

3. Belajar untuk Lebih Ikhlas dan Berpasrah pada Segala Ketetapan-Nya

Pertengahan tahun ini, aku memutuskan untuk menyudahi hubungan yang sudah terjalin cukup lama dengan seseorang yang begitu kupercaya. Hal yang berat, mengingat bahwa sejak awal aku meniatkan hubungan ini untuk dibawa ke tahap yang serius, dan hal itu sudah pula kukomunikasikan dengannya. Seiring waktu, aku merasa hubungan kami makin kehilangan arah. Berulang kali kucoba mengomunikasikan hal ini, mengingatkan kembali soal komitmen yang di awal sempat kami ucapkan, juga berusaha memperjuangkan dan memperbaikinya. Namun makin lama aku makin merasa bahwa hubungan ini tidak akan ada gunanya jika kami tidak bisa menyatukan niat dan visi misi, jika kami tidak bisa saling memperjuangkan. Terlebih, aku ingin hubungan yang bisa membawa sepasang orang untuk saling belajar dan bertumbuh dalam hidup, agar kami bisa saling mendukung dan melakukan hal berguna dalam hidup ini.

Maka dengan berat hati, kurelakan hubungan ini begitu saja. Sekalipun sedih dan sempat terpuruk, namun aku terus meyakinkan diri bahwa mungkin memang ini yang terbaik. Aku tidak mau kami berdua sama-sama sakit dan tersiksa karena memaksakan diri dalam hubungan yang tak ada juntrungannya, dan mungkin... dengan begini justru kami bisa lebih mengevaluasi diri, melakukan hal-hal produktif untuk mencapai impian. Aku belajar mengikhlaskannya, menyibukkan diri dan pikiranku dengan mengajar, juga kembali mengikuti kegiatan-kegiatan volunteering, bahkan mengikuti macam-macam workshop menarik. Memang hal-hal itu tidak membuatku lupa akan dia, namun seiring waktu, pikiranku jadi lebih tenang dan aku pun belajar untuk memaafkan segala hal yang terjadi di masa lalu. Aku belajar bahwa dengan ada atau tidak ada dia, aku tetap harus menjalankan hidup sebaik-baiknya, mengejar mimpiku yang tertunda, dan melakukan hal-hal yang bermanfaat. Aku pun yakin bahwa Allah lebih tahu jalan mana yang terbaik bagiku, Dia hanya ingin aku menggunakan waktu yang ada dalam hidupku sebaik mungkin.

4. Meluangkan Lebih Banyak Waktu untuk Passion 

Memang benar bahwa sejak pertengahan hingga akhir tahun 2019 aku harus rela mengajar di beberapa tempat sekaligus. Dalam satu hari aku bisa bekerja di tiga tempat mulai pagi hingga malam hari. Hal itu dikarenakan aku masih belum mendapatkan pekerjaan sebagai pengajar tetap, berbeda dengan posisiku di perusahaan terdahulu sebagai full time copywriter. Lelah? Tentu saja. Bosan? Jangan ditanya. Meski aku senang mengajar dan bertemu orang banyak, ada kalanya aku ingin bisa mengajar di satu tempat saja tanpa harus repot menerjang waktu untuk berpindah ke tempat berikutnya. Dan oh, jumlah gajiku juga kadang berbeda dari bulan sebelumnya mengingat aku bukan pegawai tetap. Jumlah uang yang kudapatkan akan berdasar dari jumlah waktu mengajarku. Jika ada murid les yang izin, maka akan berkurang juga penghasilanku.

Belum lagi keputusan yang harus kuambil untuk merelakan hubungan yang telah bertahun kujalani, mengikhlaskan angan-angan untuk menjalani hari ke depan bersama seseorang yang (dulunya) begitu kupercaya. Tapi memang benar, menyandarkan harapan dan keyakinan pada manusia adalah suatu kesalahan besar. Sejatinya Dia lah satu-satunya tempat kita bersandar dan melabuhkan harapan. Atau mungkin... Dia telah mengirimkan sinyal dan pertanda sebelumnya, namun akulah yang tidak menggubris-Nya? 

Apapun itu, dari profesi saat ini sebagai pengajar tidak tetap dan kesendirian, pelan-pelan aku menyadari satu hal yang terjadi: aku kembali memiliki waktu untuk passion-ku. Memang awalnya aku kembali menekuni hal-hal ini sebagai pengisi waktu luang dan pengalihan isu (maksudku pengalihan rasa sedih). Aku kembali membenamkan hidungku di balik buku-buku yang belum sempat kutamatkan, mendaftar kegiatan-kegiatan volunteering, dan oh, aku pelan-pelan kembali menulis! Tidak hanya itu, aku juga kini bisa kembali mengikuti workshop atau seminar-seminar yang kuminati. Semua hal yang tak bisa kulakukan ketika aku masih menjadi pekerja kantoran purna waktu. Tentunya aku masih ingin mendapatkan pekerjaan tetap, hingga kini pun aku masih menjajal untuk melamar lowongan-lowongan kerja tetap. Tapi mungkin saat ini, aku masih diberi kesempatan untuk memanfaatkan waktu senggang yang kumiliki, sebelum nantinya aku disibukkan dengan hal-hal lain di waktu mendatang. Who knows?

Hal-hal tersebut membuatku kembali merenung dan berpikir, seharusnya aku lebih bersyukur atas tahun ini. Tahun di mana aku kembali 'menggali' minatku, tahun di mana aku bisa kembali belajar untuk lebih menyayangi mental dan ragaku, tahun di mana aku belajar mengambil suatu keputusan, tahun di mana aku bisa lebih memiliki waktu untuk belajar banyak hal. Hei, betapa kurang ajarnya aku yang kadang masih mengutuki nasib dan masa lalu! Bukankah Allah punya rencana yang terbaik untuk setiap umat-Nya? Tapi tentu aku tidak bisa hanya berpangku tangan menunggu rencana baik itu tanpa melakukan apapun, kan? Aku harus lebih memaksimalkan diriku, dan aku bersyukur atas segala pembelajaran dan waktu yang Ia berikan padaku di tahun 2019 ini.

Semoga di tahun berikutnya, aku bisa lebih memanfaatkan waktuku sebaik-baiknya, berproses dan menjalankan kehidupan dengan lebih baik :)

“Be grateful for what you already have while you pursue your goals. 
If you aren’t grateful for what you already have, what makes you think you would be happy with more.” 
― Roy T. Bennett, The Light in the Heart

Friday, October 25, 2019

Take A (Little) Break

Hi, it's me again. It's been a really long time since the last time I posted here, rite?

I know I shouldn't make any excuse about the reason why I seldomly write again, neither in blog nor in real life (I mean not to be published here). Well, back then, I really drowned myself in some activities which were really consumed me, both energy and mind. I took my master degree since 2015 and in the same time also worked as a writing teacher in a writing school for children and teenagers in a frontier territory between Surabaya and Sidoarjo. 

Yup, I still studied literature as my concentration in master degree, and also guide my students in writing school to write their own short stories and at the end of semester, they would publish their works in a compilation book. If you asked me how did I feel at that time and did I enjoy my activities, the answer was: YES. I really enjoyed the time I spent with children, enjoyed the time I used to explore more about literature. I also enjoyed the time I had to analyze literature work in college, the time I had to discuss about theories of literature with friends or lecturer. However, I had to admit that I also felt tired at sometime. Tired of the duties and responsibilities that must be done, tired of the demands from the boss to finish some tasks as soon as possible, tired of college tasks which appeared every time, tired of the deadline from the lecturers... 

Oh, have I mentioned about the pressure I felt in the process of my thesis? Basically, I am a person who MUST do everything based on the timeline. And the deadline of thesis really killed me at that time. Never I passed a day without slept late at night nor waited messages from my thesis advisors. I cried many times, never imagined that the road to pursue a master degree would be that difficult. 

However, every time I wanted to give up, I always remembered my parents. I did not want to disappoint them. It's true that sometimes we argued about many things, especially with my mom. But no matter what happened, I always love them and I want to do the best for them. I want to make them happy as long as I can. 

The truth is, until now, I still think that what I've done is never enough for them. Yes, I finally finished my master degree. On time as I wanted. I was so happy since I didn't need to ask my parents to pay my college tuition (and can breath for a while from college things). But it doesn't make me happy instantly. I still need to work hard to pursue my career and be independent financially. Yes, I've got a job after resigned from the writing school, but it's not a permanent job yet. Therefore, I decide to do multiple jobs right now, so I could save some money and use the rest for my daily needs. Sometimes I feel bored of course, I wish I could get a permanent full time job like the others, so I don't need to go round from one work area to the other in a day. 

Another thing that still be my question (and anxiety) is... a life partner. Of course, everyone wants to meet his/her soulmate. The one who can be a friend to grow old together, to learn about life, to talk about many things. And the important things for me, the one who can guide me and wants to build a family together. It doesn't mean that I'm in a rush to get married, NO. I think it's normal for a woman in my age to talk about marriage. I want to get married not because many people around me have been married. I don't think that marriage is a competition nor a solution for life problem, but deep in my heart, I really want to get married. There was the time when I truly believe in someone and thought that he was the one. We had a quite long relationship, the on-off one. Actually, I had thought from a long time that it's not healthy to be like this and I tried to fix our communication, try to speak about it with him. The thing was, maybe God had different plan for us. So here I am, separate from him and try to let it be. Try to forgive him (even I couldn't forget what he did) and give my hope only for Him. 

I don't know about God's plan for me, but I believe He knows the best ad He will show me the ways in the right time, either it is for my career or my life partner. So I hope now I could learn more and do the best in my life. Oh, don't forget to love my self, because by loving my self, I would learn to appreciate what I've done and face this life better. I also hope from now on, I can start my writing routine again (since it's like a catharsis for me haha).

Cheer up and don't forget to ask for His guidance!