What's new?

Thursday, October 22, 2020

Review Buku: Elegi Sendok Garpu



Judul: Elegi Sendok Garpu
Pengarang: Bagus Dwi Hananto
Tahun terbit: 2018
Tebal buku: 188 halaman

Apa yang terbersit di benakmu saat mendengar kalimat "sendok garpu"? Hal-hal yang identik dengan rasa lapar? Meja makan? Atau pelbagai hal dalam rumah tangga? Bagaimana jika kata "elegi" tersisip di depannya? Makna apa yang terkandung di balik judul tersebut?

Elegi Sendok Garpu menyoroti kehidupan kelam sebuah keluarga disfungsional. Karena kesalahan yang Maya Prawitasari lakukan di masa lalu, nenek itu dikucilkan oleh keluarga anak perempuannya. Bahkan cucu-cucunya, Benjamin, Hanan, dan Editia, membiarkan begitu saja neneknya dibawa ke panti jompo. Maya pun hidup dalam penyesalan dan kesendirian tanpa keluarga. Di satu sisi, Ben si sulung merasa hampa dalam kesendiriannya, membawanya pada candu terhadap miras dan wanita. Sementara Han, si tengah, terus meratapi adik bungsu mereka, Edit, yang pergi sambil membawa rahasia yang ia tutupi rapat-rapat. Mampukah Maya, Ben, dan Han mengatasi rasa sepi yang kian menganga dalam diri mereka? Akankah penyesalan yang ada pada diri setiap mereka menggerakkan mereka untuk saling menyapa, atau justru terpendam begitu saja dalam diri sendiri?

Sesuai judulnya, Elegi Sendok Garpu mengupas perihal rahasia dan permasalahan yang telah dipendam dalam keluarga sejak lama, tentang keinginan dan hawa nafsu yang menggelegak, juga penyesalan-penyesalan yang menghantui hidup. Perihal harta warisan dan kebahagiaan di masa lalu yang berbanding terbalik dengan keadaan masa kini juga turut mewarnai kisah dalam buku ini. Betapa tragis ketika keluarga mengalami perpecahan yang bermula dari harta. Permulaan cerita yang lambat mungkin akan membuat sebagian orang merasa bosan, tapi intensitas baru akan terasa di pertengahan buku ini. Alur maju mundur dalam buku ini sepertinya telah menjadi ciri khas kepenulisan Bagus Dwi Hananto, seperti halnya buku terdahulunya yang berjudul Napas Mayat.

Meski mungkin tidak semua orang menyukai gaya penceritaannya, Elegi Sendok Garpu menyiratkan isu mengenai pentingnya keterbukaan dan komunikasi dalam keluarga, juga pentingnya menjalani hidup dengan ikhlas, bagaimana pun keadaannya. Jangan sampai dendam dan hasrat duniawi menimbulkan penyesalan bagi kita di kemudian hari.

Monday, October 5, 2020

Review Buku: Hei, Alga!



Judul: Hei, Alga!
Pemgarang: Cikie Wahab
Penerbit: Shira Media
Tahun terbit: 2020
Tebal buku: 108 halaman

Apa masalah terbesar yang mungkin untuk dihadapi seorang anak 12 tahun? Ulangan matematika yang sulit? Orangtua yang marah ketika kita bermain sepanjang hari? Atau guru yang memarahi saat kita lupa mengerjakan tugas? Bagaimana jika kita yang masih anak-anak harus memikul masalah berat yang datang bertubi-tubi dalam hidup?

Alga adalah anak laki-laki biasa. Yang membuatnya berbeda dari anak di sekitarnya adalah ia tidak tinggal dengan orangtuanya yang telah lama berpisah. Alga hanya tahu bahwa sejak ia kecil, ibunya menjadi tenaga kerja di luar negeri, sementara ayahnya yang bekerja di luar kota hanya bisa menjenguk Alga sebulan sekali. Hal itu membuat Alga harus tinggal bersama bibi dan sepupunya. Meski Alga masih tinggal dengan sanak saudaranya sendiri, ia tetap merasa tidak nyaman karena sepupunya kerap mengganggunya, sementara sang bibi kerap mengambil uang Alga demi kepentingan anaknya. Hal ini membuat Alga lebih nyaman ketika sedang bekerja menjaga kambing di rumah Pak Zul, tetangganya. Alga hanya memiliki seorang sahabat perempuan bernama Maria. Di sisi lain, Alga masih terus mengharap ibunya yang nun jauh di sana membalas suratnya setelah sekian lama tak ada kabar. Akankah Alga mendapatkan balasan surat dari ibunya? Dan ketika satu-satunya sahabat yang ia miliki membuatnya dimusuhi orang satu sekolah, apa yang Alga lakukan?

Hei, Alga! adalah sebuah sastra anak karya Cikie Wahab. Buku ini menjadi pemenang harapan dalam Sayembara Cerita Anak Dewan Kesenian Jakarta 2019. Sebagai penyuka cerita anak, tentu aku penasaran dengan buku ini. Dan pilihanku rupanya tidak salah. Cerita Hei, Alga! sebenarmya sederhana, namun cukup meninggalkan rasa pedih. Meski memang ada kesan terburu-buru dalam penceritaannya, namun aku merasa terbawa dengan kisah Alga yang sarat kesengsaraan. Seakan seluruh hidup Alga digelayuti oleh awan kelabu.


Seperti sastra anak kebanyakan, tokoh Alga dalam novel ini harus menghadapi masalah dari lingkungan sekitarnya. Dari masalah-masalah itulah tokoh Alga tampak mengalami pendewasaan karakter. Ia banyak belajar mengenai keikhlasan, pentingnya memaafkan, dan bahwa bagaimana pun juga, ikatan keluarga tetap harus dijaga. Alga juga belajar untuk merelakan, bahwa dalam hidup tidak setiap hal yang dia inginkan akan menjadi kenyataan. Tentu hal-hal itu menjadi pembelajaran hidup yang tidak mudah bagi anak 12 tahun. Jika kamu senang membaca cerita anak yang memuat banyak nilai kehidupan, buku ini patut untuk dilirik.