What's new?

Saturday, June 27, 2020

Review Buku: Esperanza Rising



Judul buku: Esperanza Rising
Pengarang: Pam Muñoz Ryan
Tahun terbit: 2000
Penerbit: Scholastic
Tebal buku: 262 halaman

Bagaimana rasanya jika orang terkasih yang selalu ada untuk kita tiba-tiba pergi meninggalkan kita? Siapkah kita jika kebahagiaan dan kenyamanan yang biasa kita rasakan harus hilang begitu saja?

Esperanza Rising mengisahkan kehidupan Esperanza Ortega, seorang anak gadis dari keluarga kaya raya di El Rancho de las Rosas, Meksiko. Menjadi anak tunggal dari keluarga terpandang dan dikelilingi oleh orang-orang yang menyayanginya membuat hidup serasa begitu mudah dan menyenangkan bagi Esperanza. Tragedi dimulai ketika ayahnya meninggal tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ketiga belas. Para pamannya berusaha menguasai harta mendiang ayahnya, membuat Esperanza harus melarikan diri ke California bersama ibu dan para pelayannya. Di sana Esperanza harus beradaptasi dengan lingkungan baru: tinggal di kamp khusus pekerja, meninggalkan kehidupan lamanya yang glamor, juga belajar mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Esperanza harus berhadapan dengan orang yang tidak menyukainya tanpa sebab dan ketika ibunya sakit, Esperanza harus berjuang untuk mendapatkan uang agar ibunya bisa mendapat perawatan yang layak.

Buku ini adalah salah satu buku sastra anak-anak yang kusukai. Tidak hanya memiliki jalan cerita yang menyentuh, kisah ini juga mengandung banyak pesan moral. Salah satunya agar kita tidak mudah menyerah kala menghadapi kesulitan dan jika kita berusaha keras, kita akan menemukan jalan dari masalah yang kita dapatkan. Tokoh Esperanza dalam novel ini juga mengalami pendewasaan yang menunjukkan bahwa kita harus bisa menyesuaikan diri dengan keadaan yang kita hadapi, menjalani hiduo dengan keberanian, keyakinan, dan ketulusan agar bisa mencapai harapan kita. Kita memang tidak selalu akan mendapat apa yang kita inginkan, tapi hidup harus tetap kita jalani.

Buku ini memiliki kesan tersendiri untukku, karena aku menemukannya di American Corner Kampus B Unair saat sedang mencari topik untuk obyek skripsi. Saat membaca buku ini, aku tersentuh dengan ceritanya dan merasa bahwa topiknya sangat menarik: tentang seorang gadis yang berjuang untuk menjadikan hidupnya berarti bagi orang-orang sekitarnya sekalipun ia sedang mengalami kesulitan. Akhirnya novel inilah yang kugunakan sebagai obyek skripsi dan mengantarkan kelulusanku. 

Aquel que hou se cae, se levantará mañana
(He who falls today may rise tomorrow)

Thursday, June 18, 2020

Review Buku: Pak Supi: Kakek Pengungsi


Judul Buku: Pak Supi: Kakek Pengungsi
Pengarang: S. Rukiah Kertapati
Jumlah halaman: 98
Penerbit: Ultimus

Apa jadinya jika anak-anak sejak dini tumbuh di tengah lingkungan yang kerap memberi contoh buruk seperti memfitnah atau menggunjing orang tanpa memgetahui kebenarannya? Tentu sebagai peniru ulung, anak akan menganggap apa yang dilihat di sekitarnya adalah hal wajar yang patut ditiru, tanpa menyadari bahwa hal itu sebenarnya bukan sesuatu yang benar untuk dilakukan. Seperti itulah gambaran lingkungan tempat tinggal Abas di buku cerita anak Pak Supi: Kakek Pengungsi.

Buku ini mengisahkan tentang Pak Supi, seorang tua pendatang baru di Kampung Sukarapih. Sejak kepindahannya, Pak Supi dikenal sebagai seseorang yang pendiam dan selalu tampak murung. Ia tidak pernah bicara dengan siapa pun di kampung itu. Berbagai macam gunjingan diarahkan warga padanya, bahkan Pak Supi disebut-sebut sebagai ahli tenung. Makin ngeri lah warga untuk mendekatinya, terutama anak-anak. Hingga suatu hari seorang anak bernama Abas bersama dua temannya mengintip ke dalam gubuk kecil Pak Supi. Betapa terkejut mereka mendapati Pak Supi yang selalu muram itu sedang tersenyum bahagia sambil menimang sebuah boneka kayu. Apa yang sebenarnya terjadi pada Pak Supi? Dari mana ia berasal? Benarkah ia dalang dari sebuah kebakaran dan pencurian yang terjadi di rumah salah satu warga? Apa yang Abas lakukan ketika ia mengetahui kebenaran tentang Pak Supi?

Ada perasaan campur aduk ketika membaca buku cerita ini. Rasanya ikut sebal membaca tentang warga kampung yang menggunjing serta menuduh Pak Supi yang bukan-bukan, sampai berpikir,"Kok bisa sih mereka setega itu sama orang tua yang hidup sebatang kara?". Namun di satu sisi, buku ini juga sarat akan pesan moral. Bahwa kita tidak boleh menilai orang tanpa benar-benar mengenalnya, bahwa keadilan dan kejujuram harus ditegakkan sesulit apa pun itu. Cerita ini juga mengajarkan bahwa kebohongan tidak akan bisa membuat kita merasa tenang. Buku ini juga memberi pelajaran bagi orang dewasa bahwa kita harus memberi contoh yang baik pada anak-anak dan belajar menghargai sesama.

Menemukan buku Pak Supi: Kakek Pengungsi ini bagai menemukan harta terpendam bagiku. Buku ini terbit pertama kali pada 1961 dan diterbitkan ukang oleh Ultimus di 2018, sehingga gaya ceritanya sangat khas buku-buku anak di zaman lawas. Walau begitu, buku inj masih sangat layak dinikmati di era modern ini. Buku ini hampir tidak pernah kutemui di toko buku kebanyakan, hingga suatu hari aku mampir ke online shop Pataba Store dan menemukan beberapa buku cerita anak yang cukup langka, salah satunya adalah buku ini. Buku anak-anak memang memiliki cerita yang sederhana, namun kita yang bukan anak-anak pun masih pantas membacanya, karena banyak pesan berharga yang bisa kita dapat di sana.

4/5

Sunday, June 14, 2020

Review Buku: Mata Paling Biru



Judul: Mata Paling Biru
Pengarang: Toni Morrison
Tahun terbit: 2019
Penerbit: Basa Basi
Jumlah halaman: 284

Rasisme tampaknya masih menjadi salah satu permasalahan yang belum tuntas di dunia ini. Tidak hanya di Amerika, negara yang baru-baru ini dihebohkan karena kasus rasisme yang dilakukan salah seorang aparat hukum hingga menewaskan seorang pria kulit hitam, rasisme pun masih terjadi di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Karena itu, rasanya pas sekali jika kali ini aku mengulas novel Mata Paling Biru karya Toni Morrison ini.

Sebenarnya aku sudah lama sekali mendengar tentang Mata Paling Biru. Pertama kali aku mengetahui novel ini dari sebuah kuliah tamu yang dibawakan oleh seorang dosen tamu berkulit hitam. Di sela materi yang ia sampaikan, ia menyebut nama Toni Morrison sebagai salah satu pengarang wanita kulit hitan yang karya-karyanya kerap menyuarakan isu-isu rasisme dan keperempuanan. Dosen itu juga menyebut judul The Bluest Eye dan menceritakan sedikit tentangnya. Saat itu juga aku jadi tertarik pada novel ini, namun belum juga kesampaian membeli versi aslinya yang berbahasa Inggris. Ketika tahun 2019 aku mendengar kabar bahwa buku ini akan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, aku langsung excited! Dan akhirnya beberapa bulan lalu, aku berhasil membeli Mata Paling Biru.

Mata Paling Biru bercerita tentang Pecola, seorang gadis kecil berkulit hitam yang kerap mengalami diskriminasi tidak hanya oleh orang-orang kulit putih, tetapi juga oleh orang-orang kulit berwarna di sekitarnya. Bahkan keluarga Pecola sendiri memperlakukannya dengan tidak baik. Pecola melihat bahwa perlakuan orang-orang kepadanya sangat berbeda dengan perlakuan terhadap anak-anak perempuan berkulit putih, berambut pirang, dan bermata biru. Hal itu menanamkan satu hal pada Pecola: bahwa jika ia memiliki mata biru, ia akan menjadi gadis cantik dan semua penderitaannya akan sirna. Sejak itu Pecola berkeinginan untuk memiliki mata biru, mata yang paling biru dibanding yang lainnya.

Melalui cerita ini, kita seakan dihadapkan pada realita rasisme yang masih terus berkembang: perlakuan tidak mengenakkan yang harus diterima masyarakat berkulit hitam, adanya inferioritas terhadap masyarakat berkulit putih, hingga adanya pemikiran bahwa masyarakat berkulit putih selalu lebih baik, memunculkan keinginan untuk menjadi seperti mereka. Sadar atau tidak, hal-hal tersebut masih ada di sekitar kita, meski dikemas dalam bentuk yang berbeda. Tampaknya hingga kini rasisme masih menjadi masalah yang belum terpecahkan sepenuhnya.

Morrison sendiri berhasil menyuguhkan kisah rasisme yang dialami seorang gadis kecil dua belas tahun dengan apik. Alur kisah dalam buku ini memang cenderung lambat, namun mampu menghadirkan perasaan menyesakkan. Tidak hanya Pecola, kita juga akan dihadapkan dengan kisah beberapa orang yang ada di sekitar Pecola, yang melatarbelakangi perilaku mereka terhadap Pecola. Satu hal yang cukup disayangkan dari buku ini adalah bahasa terjemahan yang digunakan. Beberapa kalimat terasa diterjemahkan secara word-to-word, sehingga makna yang didapat sedikit berbeda dan kurang 'nendang'. Apa pun itu, Mata Paling Biru seakan mengingatkan kita bahwa rasisme masih terus merajalela dan harus dihentikan.

Skor: 3/5

Sunday, June 7, 2020

Review Buku: Hijrah Jangan Jauh-jauh, Nanti Nyasar



Judul: Hijrah Jangan Jauh-jauh, Nanti Nyasar!
Penulis: Kalis Mardiasih
Tahun terbit: 2019
Penerbit: Mojok
Tebak buku: 208 halaman

Jangan salah kaprah ketika membaca judul buku ini. Bukan, buku ini bukan bermaksud melarang kita untuk melakukan hijrah secara mendalam atau totalitas. Buku ini merupakan sekumpulan esai yang ditulis Kalis Mardiasih mengenai fenomena-fenomena sosial yang membahas mengenai Islam dan hijrah. Esai-esai tersebut ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami, namun tetap bernas.

Hijrah sendiri secara harfiah memiliki arti berpindah menuju kehidupan yang lebih baik. Hal ini dapat terjadi dalam segala segi kehidupan, termasuk dalam hal agama. Tak dipungkiri, kata hijrah begitu lekat dengan isu agama. Ketika seorang public figure tampak lebih relijius atau baru saja mengenakan jilbab, maka dia akan disebut 'sudah hijrah'. Memang, hal itu tidak salah. Namun, bagaimana jadinya jika beberapa orang yang merasa lebih paham akan agama atau isu-isu tertentu melakukan penilaian sepihak terhadap orang sekitarnya yang memiliki nilai berbeda dengan dirinya? Apakah jika kita tidak setuju dengan suatu hal lalu kita dibenarkan untuk berkoar-koar di media sosial bahwa hal itu salah dan kita benar, tanpa lebih dulu menyelami isi dari hal tersebut? Lalu jika kita memaksakan orang lain untuk menerima nilai yang kita anut, melakukan penggiringan opini begitu saja, apakan itu dapat dibenarkan?

Buku ini memaparkan bahwa tidak masalah jika kita hendak mempelajari agama secara lebih dalam atau menganut nilai-nilai tertentu yang berbeda dari orang lain. Namun, bukan berarti itu dapat membuat kita merasa lebih benar dan melakukan judgement terhadap orang lain yang berbeda pandangan dengan kita. Mungkin niat kita baik, hendak mengajak orang lain dalam kebaikan. Namun ingat pula bahwa setiap orang memiliki proses belajar yang berbeda dalam hidup, sehingga pandangan hidup yang dimiliki akan berbeda pula. Tidak ada salahnya bukan jika kita menghargai apa pun pandangan yang orang lain miliki, sekalipun itu berbeda dengan nilai yang kita anut? Jangan lupa bahwa kita hidup dalam masyarakat yang menganut keberagaman, sehingga kita pun harus bisa tetap bertoleransi dan membuka diri terhadap setiap hal yang ada di sekitar kita.

Skor: 4/5