What's new?

Friday, September 11, 2015

Pelajaran Hidup dari Sang Nenek

Setiap pertemuan akan membawa pelajaran tersendiri. Hal itu pula yang kusadari pagi ini, saat aku dipertemukan secara tak sengaja dengan seorang nenek tua di puskesmas yang tak jauh dari rumahku.

Suasana puskesmas sudah begitu ramai di pagi ini. Banyak orang menunggu panggilan berobat. Ada pula yang datang untuk meminta rujukan berobat ke tempat lain, hal yang saat itu sedang kulakukan bersama ibuku. Di tengah lalu lalang banyak orang dan panggilan yang silih berganti untuk para pasien di ruang tunggu, datanglah seorang nenek berpenampilan sederhana, berjalan tertatih mencari tempat duduk. Melihat keadaan itu, ibu pun menggeser posisi duduk dari sampingku, memberi tempat agar si nenek bisa duduk tenang sambil menunggu panggilannya.

Sang nenek itu pun duduk di sampingku, mengeluarkan lembaran kertas dan nomor panggilan yang diberikan pada semua pasien sebelum memasuki ruang tunggu. Entah bagaimana pada mulanya hingga terjadi sebuah obrolan panjang antara aku dan nenek tersebut. Dengan bahasa Jawa krama (halus), beliau mulai menceritakan tentang penyakitnya. Beliau datang ke puskesmas guna memeriksakan tekanan darahnya yang melonjak tinggi. Katanya, ia sudah mengantre di puskesmas kemarin malam, tetapi lantaran jarum jam terus bergeser dan namanya tak juga dipanggil, sang nenek memutuskan kembali di pagi harinya.

Nenek itu juga menceritakan tentang tempat tinggalnya, tentang masa muda di mana ia telah menikah di umur 14 tahun. Dari pernikahannya itu, ia memiliki tujuh orang anak. Malangnya, sang suami meninggalkan nenek itu saat anak bungsu mereka masih berusia satu tahun. Sejak itu, beliau berusaha menghidupi ketujuh anaknya dengan menjadi tukang masak dan cuci di sebuah rumah sakit di Surabaya. Tak hanya itu, nenek juga berusaha menambah pemasukan dengan berjualan di pasar.

“Selama 77 tahun, saya sudah pernah merasakan berbagai keadaan hidup. Bagaimana menjadi orang berkecukupan, bagaimana menjadi orang susah. Tapi ketika kesulitan datang menghampiri, tentunya saya tidak boleh tinggal diam. Saya harus berusaha menafkahi anak-anak saya.” sang nenek meneruskan pembicaraannya, masih dengan bahasa Jawa krama. Sambil terus mendengarkan, aku memperhatikan nenek tersebut. Wajah renta itu telah penuh dengan keriput. Tangannya sesekali gemetar ketika memegang nomor urut panggilannya. Namun begitu, ada ketabahan tersirat dari raut wajahnya. Ketabahan dalam menjalani asam garam kehidupan. Juga kekuatan untuk berjuang meneruskan hidup.

Serta merta, sang nenek berkata sambil menepuk pundakku,“Sabar saja. Apapun yang terjadi harus dilalui dengan ikhlas. Jalani, minta petunjuk Gusti Allah. Tunggulah, semua punya jalan yang terbaik masing-masing.” begitu kurang lebih beliau betutur. Aku tertegun sejenak, namun segera mengangguk. Perkataan nenek itu memang benar, namun yang membuatku terpaku adalah isi penuturan terakhirnya yang begitu merasuk ke pikiranku. Membuatku jadi merenung. Mungkin selama ini ada kalanya aku kurang sabar dalam menghadapi segala sesuatu. Mungkin terkadang aku masih mengerjakan sesuatu dengan setengah hati. Hingga aku lupa bahwa segala sesuatu di dunia memang butuh proses, butuh usaha untuk bisa memperbaiki keadaan di sekitar kita. Dan oleh nenek ini, aku seakan diingatkan bahwa hidup memang terkadang tak berjalan seperti apa yang kita inginkan, tapi bukan berarti kita tak bisa mengubahnya. Jalani saja semua dengan sabar dan ikhlas, maka Allah akan menunjukkan jalan terbaik untuk kita.


Pembicaraan dengan sang nenek terputus ketika namaku dipanggil ke dalam ruang periksa. Dan hingga pulang dari puskesmas, aku terus merenungkan perkataan nenek yang hingga kini tak kuketahui namanya tersebut. Mungkin pertemuanku dengan nenek tua itu telah direncanakan oleh Yang Di Atas untuk memberikan pesan tersendiri buatku. Nenek, terima kasih atas nasehatnya. Cerita hidupmu yang sarat makna takkan kulupakan. Semoga aku bisa menjalani hidup dengan lebih sabar dan ikhlas, sepertimu. 

-wintarsitowati-

No comments:

Post a Comment