What's new?

Friday, May 29, 2015

Jangan Pernah Menyerah Padaku, Bu

-Ini adalah sebuah tulisan lama yang saya temukan teronggok di sudut ruangan salah satu akun sosial media saya. Entah mengapa, rasanya ingin memposting kembali tulisan ini. Semoga bermanfaat.-         

          22 Maret 1992 adalah hari yang begitu bersejarah bagiku. Untuk pertama kalinya aku menjejakkan kaki ke dunia ini. Allah SWT meniupkan ruh kehidupan ke diriku melalui dirimu. Selama sembilan bulan engkau mengandungku, selama itu pula engkau harus menanggung kesakitan yang luar biasa. Namun itu semua tak membuatmu menyerah untuk melahirkanku, Bu. Kau beri aku semangat agar aku tetap bisa melihat indahnya dunia. Kau rawat aku dengan penuh kasih sayang sejak dalam kandungan. Kau ajarkan aku berbagai nilai kehidupan yang bermanfaat. Semua itu kau lakukan bukan untuk kepentingan dirimu sendiri Bu, namun semata-mata untuk bekal diriku di masa depan.
          Bu, ingatkah dulu ketika keluarga kita mengadakan acara adat Turun Tanah atau yang orang Jawa sebut Tedak Siten untukku? Rangkaian acara itu diadakan ketika anak telah berumur tujuh bulan. Menurut tradisi, acara ini diadakan agar kelak si anak bisa tumbuh lebih mandiri. Ada serangkaian acara yang dilakukan saat Tedak Siten, di antaranya prosesi selamatan yang menyajikan serangkaian kudapan tradisional, sayuran, dan ayam utuh, prosesi naik ke tangga tebu yang dihiasi kertas warna-warni, serta memasukkan anak ke dalam kurungan ayam yang di dalamnya juga diletakkan berbagai benda seperti cermin, buku dan alat tulis, uang, dan benda-benda lainnya yang nantinya akan dipilih salah satu oleh sang anak. Dulu ketika aku masih kecil, aku tak begitu memikirkan soal apa saja yang telah aku alami ketika aku masih bayi. Seiring berjalannya waktu, aku pun penasaran, benda apa yang kupilih ketika Tedak Siten dulu? Aku pun bertanya padamu, Bu, dan kau jawab,”Barang yang dulu kamu pilih adalah buku dan alat tulis.” Jawabanmu seakan mengembalikan ingatanku pada memori perjalanan masa kecilku.
          Masih segar di ingatanku akan kenangan masa kecilku dulu. Menjelang aku tidur, kau dan Bapak secara bergantian selalu menyempatkan diri membacakan buku cerita untukku. Hal itu selalu berulang setiap hari, sampai aku hafal isi cerita setiap buku. Bu, kau seakan tak memedulikan betapa repotnya dirimu. Ya, sebagai guru di sebuah SMK Negeri di Surabaya, pekerjaanmu memang cukup menyita waktu. Pagi-pagi benar kau harus bangun untuk menyiapkan segala keperluan Bapak, belum lagi mengurusku yang tatkala itu masih kecil. Masih belum mengerti apa-apa. Setelah itu kau berangkat mengajar hingga menjelang sore hari. Tidak berhenti sampai di situ, sepulang bekerja pun kau masih harus kembali mengurusku. Mungkin karena kelelahan setelah beraktifitas seharian, kau jadi mengantuk saat membacakan cerita untukku dan tanpa sadar membacanya dengan keliru. Jika sudah begitu, aku yang masih kecil langsung protes,”Lho Bu, ceritanya bukan seperti itu. Ceritanya itu…” dan jadilah aku yang mengoceh, menceritakan seluruh isi buku yang aku ingat benar. Bukannya kesal dengan ocehanku, kau malah tersenyum-senyum geli,”Eh iya ya, Ibu salah bacanya..” ujarmu sambil terkekeh-kekeh. Ah Bu, kau seakan tak mengenal lelah. Kini, kau memang sudah tak perlu membacakan cerita untukku, Bu. Namun, dari terbit fajar hingga petang hari pun kau masih sibuk dengan segala hal, sekalipun itu bukan untuk keperluanmu sendiri. Hal itu pun masih terus terjadi hingga kini aku dewasa.
            Bu, jika ditanya mengenai orang yang paling kuat, paling sabar dan paling ikhlas dalam menjalani segala hal, aku akan menjawab bahwa orang itu adalah dirimu. Apapun yang kau hadapi, kau tetap menjalaninya dengan tabah. Kau dengan tulus mengajarkanku mengenai segala hal yang tak kudapat di bangku sekolah, mengenai etika terhadap sesama, pentingnya berbagi dengan saudara, dan bagaimana tindak-tanduk yang harus dilakukan sewajarnya seorang perempuan. Saat transisi remaja, ada suatu masa di mana aku lebih mementingkan waktu bersama teman-temanku daripada bersama keluarga. Hal itu membuatku lupa waktu. Acap kali aku pulang terlalu malam ke rumah, tak memedulikan nasihatmu. Hingga suatu hari aku jatuh sakit. Di kala sakit itu, aku teringat segala perkataanmu, segala wejanganmu,”Jangan pulang terlalu malam. Angin malam itu tidak bagus untuk kesehatan.” atau,”Semakin malam, kondisi jalanan akan semakin sepi. Kurang aman jika kamu pulang malam seperti itu terus menerus.” Ada rasa penyesalan dalam hatiku karena tak mengindahkan segala nasihatmu, Bu. Namun bagaimanapun, kau tetap merawatku dengan setulus hati hingga aku benar-benar sembuh. Aku pun menyadari bahwa semua yang kau lakukan semata-mata hanya untuk kepentinganku sendiri.
            Pernah di kala aku resah, kau tenangkan aku dengan tutur katamu,”Tetap lah mohon petunjuk pada Allah SWT. Jangan panik. Ibu selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu.” Seketika itu juga kegelisahanku lenyap entah ke mana. Ibu, kelak akan tiba waktunya ada seorang laki-laki yang datang padamu dan Bapak untuk meminangku, meminta izin darimu dan Bapak untuk menjadikanku pasangan hidupnya. Walau begitu, aku ingin tetap bisa menjalankan tugasku sebagai anakmu, Bu. Aku merasa hingga kini aku belum mampu memberi yang terbaik untukmu, membanggakanmu dan Bapak. Aku belum bisa dikatakan sebagai anak yang berbakti pada orangtuanya. Kadang aku menangis sendiri ketika mengingat bahwa selama ini aku telah begitu banyak menyusahkanmu, membuatmu sedih. Namun aku akan tetap berusaha untuk menjadi anak yang lebih baik, Bu. Aku ingin menjadi anak yang berbakti padamu dan Bapak. 
         Bu, begitu banyak hal yang telah kau berikan padaku, namun tak secuil pun aku mampu membalas kasih sayangmu yang begitu besar padaku. Terima kasih karena telah menjadi Ibu, pendengar yang baik, pelipur lara, dan guru yang begitu tulus untukku. Maaf jika kadang kita terlibat dalam adu mulut, namun percayalah, Bu, dalam hati aku begitu menyayangimu. Terima kasih atas segala perhatian yang kaucurahkan. Jangan pernah menyerah padaku ya, Bu.



    Yang Menyayangi dan Menghormatimu,  


Winta Hari Arsitowati
                                                                               

No comments:

Post a Comment