What's new?

Saturday, April 5, 2014

Untuk yang Tersayang

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!



Untuk anakku Kirana


Selamat ulang tahun anakku. Semoga engkau selalu diberkati kesehatan dan umur panjang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Semoga di usia yang ketujuh belas ini urusanmu dilancarkan dan segala keinginanmu juga dikabulkan oleh-Nya.
Anakku, mungkin ulang tahunmu kali ini akan menjadi ulang tahun yang teristimewa dalam hidupmu. Ya, ini adalah pertama kalinya kau merayakan ulang tahunmu di restoran mewah sekelas De Opera Beach Club bukan? Hal yang sebelumnya tak pernah Ayah bayangkan dapat terjadi, namun telah menjadi impianmu sejak lama. Ayah dapat membayangkan raut wajah bahagiamu, Nak. Kirana anakku, mungkin Ayah bukan lah ayah yang cukup baik di matamu. Maafkan Ayah yang tak pernah mampu membahagiakanmu, Nak. Ayahmu ini hanya seorang nelayan kecil. Pendapatan Ayah sebulan pun tak akan cukup untuk memenuhi segala keinginanmu, Anakku. Namun Ayah selalu ingin membuatmu bahagia, Nak. Bagi Ayah,hidup ini tak ada gunanya bila Ayah tak mampu menyenangkan hati putri Ayah satu – satunya.

De Opera Beach Club


Ayah tahu engkau malu dengan pekerjaan ayahmu ini, Nak. Karena itu kan kau tak pernah mau mengajak teman – teman sekolahmu ke rumah kecil kita? Ah,anakku, tidakkah kau tahu bagaimana sedihnya hati Ayah ketika kau melarang Ayah ke sekolahmu lantaran kau malu punya ayah seperti Ayah? Perasaan Ayah hancur, Kirana. Anakku, engkau adalah harta satu – satunya yang Ayah miliki saat ini. Sejak Ibumu meninggal sepuluh tahun yang lalu, Ayah telah bertekad untuk membesarkanmu sendiri, membahagiakanmu. Meskipun pendapatan Ayah kecil, Ayah ingin kelak kau jadi anak yang sukses. Maka Ayah selalu berusaha menyekolahkanmu di sekolah unggulan dengan harapan kau bisa menjadi anak yang berprestasi. Ayah tak pernah mempersoalkan besarnya biaya yang harus Ayah tanggung untuk pendidikanmu. Yang Ayah ingin hanya agar hidupmu tak semenderita Ayahmu sekarang, Nak.
Kau ingat Kirana, kau adalah murid yang rajin dan cerdas. Guru – guru selalu memujimu yang acap kali menjadi juara kelas. Atas prestasimu, selepas SD kau mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di sebuah yayasan sekolah elite. Betapa bangganya Ayah saat itu. Bagaimana tidak, anak Ayah mampu sekolah di tempat yang dijadikan jujukan anak orang – orang kaya. Ayah masih ingat betapa semangatnya dirimu setiap berangkat ke sekolah. Tak kau hiraukan teman – teman yang mencemooh keadaanmu. Kau bilang kau hanya ingin belajar dan jadi orang sukses.
Ayah bisa melihat bahwa kau berusaha menjalani semua itu dengan tabah, Kirana. Hingga suatu hari, saat dirimu menginjak kelas tiga SMP, kau pulang dengan air mata bercucuran. Tak tahan melihatmu bersedih, Ayah menanyakan penyebab kesedihanmu. Betapa kagetnya Ayah saat kau menyalahkan Ayah. Kau bilang bahwa ada seorang anak lelaki di kelas yang kau sukai, namun kau tak pernah berani untuk berbicara dengannya. Melihat matanya pun kau tak berani. Kau hanya dapat mencurahkan perasaanmu dalam buku catatanmu. Hingga pagi itu seorang temanmu yang jahil merebut bukumu secara paksa. Kontan saja kau kaget, karena di buku itu terdapat seluruh catatan rahasia mengenai anak lelaki yang kaupuja itu. Belum sempat kau merebut buku itu kembali, temanmu itu sudah menemukan catatan rahasiamu. Tanpa memikirkan perasaanmu ia pun membacakan isi catatan itu dengan lantang di depan kelas. Saat itu lah anak lelaki yang kau taksir mendengar semuanya. Tanpa basa-basi ia merebut buku itu dari tangan temanmu lalu menghampiri mejamu. Sekonyong – konyong dirobeknya kertas curahan hatimu dari buku itu dan diremas-remasnya di hadapanmu. Ia bilang bahwa ia tidak menyukaimu dan kau takkan bisa dekat dengannya karena kau hanyalah anak nelayan miskin.
Aku bisa memahami rasa sakit hatimu, Kirana. Namun sejak kejadian itu kelakuanmu terhadap Ayah berubah seratus delapan puluh derajat. Kau selalu mengungkit kejadian itu dan melarang Ayah untuk datang ke sekolahmu. Ayah kira hal itu hanya akan terjadi sementara. Mungkin kau sedang stres karena akan menghadapi ujian kelulusan. Namun ketika kau masuk  SMA, perangaimu tetap tak berubah. Kau bahkan menjalin pertemanan dengan anak – anak yang memiliki gaya hidup tinggi. Kau mulai senang bersolek dan membeli baju – baju bagus. Semua itu kau lakukan demi bisa bergaul dengan jajaran siswa – siswa yang terkenal. Lagi – lagi kau tak mengizinkan Ayah untuk datang ke sekolahmu, sekedar untuk mengantar makanan atau menjemputmu. Kau bilang kau malu jika sampai ada yang tahu bahwa kau hanya anak dari nelayan miskin. Jangan kau tanya bagaimana perasaan Ayah, Kirana. Sedih, tentu saja. Namun semua Ayah terima dengan lapang dada, asalkan kau bisa bahagia dengan teman – temanmu, Nak.
***
“Ayah! Ayaaaah!” teriakan Kirana terdengar melengking seiring derap sepatunya memasuki rumah. Aku yang sedang sibuk memperbaiki jala menghentikan aktivitasku sejenak. Ya, sudah beberapa hari jalaku rusak. Memang lubangnya tidak besar, namun cukup mempengaruhi hasil penangkapan ikan. Sebenarnya teman – teman sudah menyarankanku untuk membeli jala baru, “Bukankah harga jala baru lebih murah jika dibandingkan dengan biaya engkau memperbaiki jala selama ini? Sudah berapa kali jala itu rusak dan harus diperbaiki sana – sini?” tukas salah seorang temanku, yang hanya kujawab dengan senyuman. Ya, mungkin ada baiknya aku mengikuti saran teman – temanku itu, namun aku kembali mengingat bahwa ada yang lebih membutuhkan uang itu. Anak seumurannya tentu perlu uang untuk membeli baju dan segala macam perlengkapan untuk merias diri. Tak jarang Kirana kesal karena uang yang didapat tak cukup untuk memenuhi keinginannya. Kadang aku hanya bisa mengurut dada melihat Kirana seperti itu, tapi biarlah. Asal dia bahagia, asal dia masih mau belajar dan memiliki teman, aku pun turut bahagia.
“Ayah! Daritadi Kirana panggil kenapa tidak menjawab? Tidak dengar ya?”sentakan Kirana membuyarkan lamunanku. Aku menoleh pada putri semata wayangku itu dan tersenyum,”Kamu sudah pulang, Nak? Mau makan dulu? Itu ada ikan goreng tadi pagi, Ayah sengaja sisakan untukmu.”
“Tidak usah, Kirana sudah makan di restoran tadi bersama teman – teman! Lagipula mau jadi apa nantinya kalau Kirana terus menerus makan ikan setiap hari?” dengusnya, yang membuat hatiku teriris. Oh anakku, maafkan ayahmu yang tak dapat membahagiakanmu ya Nak..
“Yah, apa Ayah lupa kalau seminggu lagi adalah hari penting untuk Kirana?” tanya Kirana seraya melempar tas sekolahnya ke kursi. Aku tersenyum lembut,”Tentu Ayah ingat, Kirana. Seminggu lagi kamu akan berulang tahun yang ketujuh belas bukan?” Ah, betapa cepatnya waktu berlalu, dan aku belum mampu memberikan yang terbaik untuk anakku tercinta.
“Lalu apa tidak ada sesuatu yang spesial yang bisa Ayah berikan untuk Kirana?”
“Oh, kamu mau minta hadiah, Nak? Kamu mau minta apa? Jika Ayah mampu, Ayah akan berusaha memenuhinya.” Ujarku tersenyum, mengingat ini adalah kesempatanku untuk membuat anakku senang.
“Mmm.. kalau Kirana mau mentraktir teman – teman Kirana di malam ulang tahun itu bagaimana, Yah?” aku memikirkan permintaan Kirana sejenak. Ya, mungkin aku bisa mengabulkan permintaan anakku yang satu ini. Uangku memang tidak banyak, namun tak ada salahnya sesekali membiarkan Kirana mengajak teman – temannya makan bersama, jika memang itu dapat membuatnya senang.
“Ya, Ayah rasa kamu bisa melakukannya. Nanti Ayah akan melaut untuk mencari ikan sebanyak – banyaknya, lalu kamu bisa membakar ikan bersama teman – temanmu di pantai. Pasti menyenangkan bukan makan ikan bakar bersama teman – teman sambil melihat laut?”
Namun itu bukan ide yang bagus bagi anakku,”Aduh, Yah. Kalau sekedar ikan bakar saja teman – teman Kirana sudah sering makan di restoran. Kirana ingin sesuatu yang beda, Yah. Yang belum banyak dilakukan oleh teman – teman Kirana..”kata – kata Kirana membuatku mengurut dada.
“Hmm.. memangnya kamu mau mengajak teman – teman makan di mana, Nak?” tanyaku pelan. Kutanya begitu, putriku itu mengembangkan senyumnya. Matany bersinar, tampaknya hal itu telah ia impikan sejak lama, sehingga membayangkan saja dirinya tampak senang sekali.
“Kirana mau mengajak teman – teman makan malam di De Opera Beach Club di The Bay Bali, Yah.” Katanya dengan mata berbinar. Aku tercekat. Ya Tuhan, apa aku tidak salah dengar?
“De.. De Opera, Nak?”ulangku, seakan memastikan.
“Iya Yah, De Opera. Masa Ayah tidak tahu, sih? Itu kan salah satu restoran yang ada di The Bay Bali, yang ada di Nusa Dua itu lho Yah. Kirana baca di majalah kalau The Bay Bali itu tempat yang keren sekali, Yah. Selain pantai, di situ juga terdapat bermacam – macam restoran bintang lima seperti De Opera, Benihana, Bumbu Nusantara, dan restoran – restoran lain yang tak kalah mengagumkannya, Yah. Tapi yang paling menarik perhatian Kirana ya De Opera itu, Yah. Coba bayangkan Yah, di sana Kirana bisa makan masakan Thailand yang lezat – lezat sambil menonton acara seni yang biasa ditampilkan di sana. Kirana dan teman – teman juga bisa menonton live music dari DJ yang sedang tampil. Kalau Kirana bosan, Kirana dan teman – teman juga bisa berenang di kolam renang atau menikmati pemandangan luar yang indah, karena dari restoran kita bisa melihat laut. Belum lagi angin di sana sangat sejuk. Kirana ingin sekali bisa ke sana, Yah..” rajuk anakku. Aku menelan ludah. Dari penjelasan panjang lebar Kirana, sudah pasti De Opera memiliki fasilitas yang bagus dan lengkap. Tapi tentunya untuk bisa menikmati itu semua dibutuhkan uang. Ya, Uang. Benda yang saat ini merupakan sesuatu yang sangat krusial untukku. Ah, mengapa rasanya sangat susah ketika aku ingin membahagiakan anakku sekali saja?
Salah satu menu hidangan di De Opera Thai Restaurant
Suasana saat makan malam di De Opera
Suasana di sekitar De Opera


“Nak.. begini, Ayah tahu De Opera memang memiliki fasilitas yang menakjubkan dan makanan yang lezat. Pasti akan sangat menyenangkan bila kamu bisa mentraktir teman – temanmu di sana, tapi...” Aku berdeham sebentar,”untuk bisa makan di sana tentunya butuh uang yang tidak sedikit, Nak. Apa tidak bisa jika ulang tahunmu kita rayakan secara sederhana saja? Nanti Ayah buatkan ikan bakar kesukaan kamu ya, Nak...”
“Ah! Sudah Kirana duga, Ayah pasti tidak bisa memenuhi keinginan Kirana! Kirana ingin sesekali hidup enak, Yah! Kirana ingin seperti teman – teman, makan di restoran mewah, menonton acara musik. Kirana malu tinggak di gubuk reyot ini, Yah! Kirana malu punya ayah seperti Ayah! Ayah tidak pernah bisa membahagiakan Kirana, tapi Ayah selalu minta supaya Kirana belajar agar bisa masuk sekolah yang bagus! Apa tidak ada hal yang bisa Ayah lakukan sedikit saja untuk membahagiakan Kirana?”sergah Kirana, membuat hatiku menangis.
“Kirana, maaf  jika Ayah belum bisa membahagiakanmu. Ayah memang salah karena tidak mampu memberi penghidupan yang layak untukmu, tapi Ayah tidak ingin nantinya kamu bernasib seperti Ayah, Nak. Ayah ingin kamu menjadi orang sukses. Sabar ya, Nak. Suatu saat kamu pasti bisa hidup senang layaknya teman – temanmu..”
“Selalu ituuu saja yang Ayah bicarakan. Kapan pastinya Kirana bisa mendapat apa yang Kirana mau, Yah? Kirana bosan hidup miskin! Bosan setiap hari makan ikan terus! Tapi sepertinya Ayah memang tidak pernah mau membuat Kirana senang!”tukas Kirana seraya pergi keluar rumah. Dibantingnya pintu gubuk kami keras – keras, membuatku tersentak. Perasaanku tak dapat kubendung lagi. Air mataku jatuh berlelehan, meratapi sikap anakku yang begitu membenciku. Ah,mengapa  aku tidak bisa membahagiakan anakku sendiri?
***
“Apa Bapak yakin mau melakukan ini?”
“Yakin Bu, saya yakin seyakin – yakinnya.”
“Bapak tidak sayang jika harus menukarnya begitu saja dengan uang?”
“Tidak, Bu Mardi. Tidak sama sekali.”
“Lalu bagaimana dengan nasib Bapak selanjutnya? Apa Bapak tidak merasa rugi jika nantinya  Bapak tidak dapat bekerja lagi? Saya yakin pasti hal ini sangat penting untuk pekerjaan Bapak, apa lagi Bapak adalah seorang nelayan. Tentu Bapak akan sangat membutuhkan..”
“Bu, saya rela melakukan apa saja demi membahagiakan anak saya. Dan untuk itu saya ikhlas menyerahkan apapun yang saya miliki. Tekad saya sudah bulat, Bu, jadi tolong jangan tanyakan kesiapan saya lagi. Berapa kali pun Ibu bertanya, saya siap melakukan ini semua.”
“Baiklah kalau memang itu menjadi keputusan Bapak. Terima kasih sebelumnya atas kesediaan Bapak. Kami berjanji akan membalas budi baik Bapak sesuai dengan kesepakatan sebelumnya.”
***
Terngiang ucapan rekan – rekanku sesama nelayan mengenai keinginanku membahagiakan putriku. Mereka bilang aku laki – laki lemah. Ya, mungkin aku memang lemah karena aku tak mampu memegang janjiku pada almarhumah istriku untuk dapat membesarkan anakku dengan baik. Aku juga tak dapat membuat hidup anakku senang, aku tak pernah bisa membahagiakan anak yang sangat kusayangi.
Ketahuilah, Nak, betapa ingin Ayah membuatmu bahagia. Betapa ingin Ayah menjadi alasan dibalik senyum yang selama ini hanya kau tujukan pada teman – temanmu.  Ayah tidak tahu apakah tindakan Ayah ini baik atau tidak, tapi yang Ayah tahu, inilah jalan satu – satunya untuk memenuhi keinginanmu.
Anakku, kau tentu ingat Juragan Mardi, bukan? Ia adalah orang kaya yang baik hati, yang membuka lapangan usaha hingga anak – anak muda di sekitar sini yang tak dapat melanjutkan pendidikan dapat bekerja. Ia juga yang memberikan kapal dan jala secara cuma – cuma pada Ayah sehingga Ayah bisa melaut seperti sekarang. Kau tahu Kirana, tepat di hari saat kau mengutarakan keinginanmu untuk mentraktir teman – temanmu di De Opera, sorenya tersiar kabar bahwa Juragan Mardi terkena musibah. Saat hendak mengganti kaca jendela di lantai dua rumahnya, tangga yang ia gunakan oleng. Ia terjatuh, demikian pula kaca yang dipegangnya. Malangnya, kaca itu jatuh tepat di dekat wajah Juragan Mardi, sehingga serpihan – serpihannya masuk ke dalam matanya. Saat dibawa ke Rumah Sakit, Dokter yang memeriksa menyatakan bahwa Juragan Mardi telah mengalami kebutaan akibat goresan kaca di bola matanya. Hal ini terang saja membuat keluarga dan segenap pekerja terpukul. Juragan Mardi adalah orang yang arif lagi bijaksana. Kami semua membutuhkannya sebagai sosok pemimpin. Istri Juragan Mardi tak mau menyerah pada kenyataan. Ia berkeliling ke sana kemari, dari Rumah Sakit satu ke yang lain, untuk mencari donor mata. Ia bahkan berani memberikan apa saja untuk orang yang bersedia mendonorkan matanya untuk Juragan Mardi.
Saat itulah batin Ayah tergerak, tak hanya untuk membalas jasa Juragan Mardi pada Ayah, tapi Ayah juga ingin membahagiakanmu. Maka di sinilah Ayah sekarang, Rumah Sakit. Ayah sedang menunggu waktu operasi. Ya Anakku, Ayah berikan sepasang mata Ayah pada Juragan Mardi, dan sebagai gantinya Ayah mohon pada istri Juragan Mardi untuk memberi sejumlah uang yang nantinya dapat kau gunakan bersama teman – temanmu untuk makan di De Opera. Tak perlu kau tanyakan bagaimana perasaan Ayahmu ini, Nak. Satu yang bisa Ayah katakan: Bahagia. Ayah bahagia bisa membuatmu senang. Ayah membayangkan kau tertawa gembira bersama teman – temanmu kala menikmati hidangan di De Opera. Ayah senang, akhirnya Ayah bisa menjadi alasan di balik tawamu, Nak.
Ini adalah surat terakhir yang mampu Ayah tulis. Mungkin ini terdengar aneh untukmu, tapi Ayah ingin mengatakan bahwa Ayah sangat menyayangimu, Kirana. Ayah bangga punya putri yang cantik dan cerdas sepertimu. Semoga kelak kau bisa meraih cita – cita yang kau inginkan ya, Nak.

Salam Sayang,

                   Ayah
***
Gadis itu ternganga membaca surat yang disampaikan oleh wanita yang baru saja mendatangi rumahnya. Sedetik kemudian air mata gadis itu menetes satu persatu, lama kelamaan ia sesenggukan. Sungguh, ia tak mengira keegoisannya selama ini membuat Ayahnya berkorban hingga sejauh itu. Terputar kembali dalam ingatannya di kala ia membentak Ayah lantaran makanan yang tersedia di rumah hanya sekedarnya. Teringat ia bagaimana ia merajuk pada Ayah untuk dibelikan sepatu baru, yang modelnya serupa dengan kawan – kawannya. Bagaimana ia membual mengenai rumah dan orang tua kepada teman – temannya, lantaran ia malu memiliki Ayah seorang nelayan, dan, ah, bagaimana ia merajuk pada Ayah untuk merayakan ulang tahun di De Opera Beach Club. Ia tahu, bukan hal mudah bagi Ayah untuk mengabulkan semua itu, namun Ayah tak pernah memarahinya.
“Sabar ya Nak, suatu saat kau pasti mendapatkan apa yang kamu inginkan.” Demikian Ayahnya selalu mencoba menenangkan dirinya setiap kali ia merajuk. Namun ia tak pernah mau mengerti, hingga akhirnya Ayah mengambil langkah yang jelas tidak mudah untuk dilakukan orang lain. Ayah mengorbankan matanya demi membuatnya, putri satu – satunya, mengecap kebahagiaan. Ia sadar bahwa apa yang ia lakukan sudah kelewat batas, hingga Ayahnya berpikir sedemikian rupa. Namun apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Ayahnya kini telah buta, otomatis Ayah tak dapat melaut lagi.
Wanita itu, yang datang untuk mengantarkan surat dan sejumlah uang,  tercenung menyaksikan si gadis yang menangis sesenggukan. Kasihan, gadis ini pasti sangat terpukul,”Kirana, sabar ya, Nak. Ayahmu orang baik. Ia berjiwa besar dan mau mengorbankan dirinya demi kepentingan orang lain. Banggalah kamu memiliki Ayah seperti dia, Nak. Sayangilah dia, karena ia adalah harta satu – satunya yang kau punya. Kebahagiaan di dunia tak ada artinya jika tak ada keluarga yang menemani kita, Nak.”ujar wanita itu lembut. Gadis itu mendongak, lalu mendekap wanita itu. ”Bu Mardi, tolong bawa saya ke rumah sakit, ya. Saya ingin bertemu Ayah, saya ingin memeluk dan mencium kakinya. Saya memang anak tak tahu diuntung, Bu, sampai – sampai Ayah melakukan semua ini demi saya.”
Wanita itu menitikkan air mata haru. Ia mengangguk. Ya, kenyataan yang harus diterima gadis itu memang menyedihkan. Ayah yang selalu menyayanginya mengorbankan salah satu inderanya demi kebahagiaan sang anak. Namun, setidaknya ada pembelajaran yang dapat dipetik oleh gadis itu. Bahwa segala hal duniawi bukanlah sumber kebahagiaan abadi, melainkan keluarga. Keluarga yang akan selalu ada dan melindungi kita kapan pun. Itu lah sumber kebahagiaan dan harta yang tak ternilai.

TAMAT
 

2 comments: